SABDA CINTAMU

Pada mula bait, sumsum ini lebur
Tangisan ini pun tanpa air mata.
Penyesalan-penyesalan terangkum bagai prosa hitam
Tampa titik koma
Surat-surat yang bersirat ku tatap lekat
Ah…… Aku bangsat, aku nekat.
Kaulah yang terbaik bagiku.
Aku tersesat dalam belantara cinta
Peta itu, kompas itu, semua milikmu.
Ku terperanjat sadar tampa kata
Kaulah yang terbaik bagiku.

Cukuplah sempurna sabda engkau beri
Laksana paradigma penyejuk hati.
Kini, ku sadari wahai peri….
Permintaanmu ku garis bawahi
Kini, ku mengerti wahai bidadari……
‘’Kepercaya’an hanya satu kali.’’
Tapi……
Yang tak pernah ku sadari
Sejauh mana aku berlari.
Dan yang tak pernah ku mengerti
Setinggi mana aku bermimpi.
Terima kasih wahai pelita hati…
Biarlah langkah ini kan ku ratapi.

BIARKAN AKU MENANGIS

Kala malam berselimut gelap nan kelam
Biarkan aku menangis dalam satu isakan yang dalam
Karena aku ingin menyatu dengan tangismu
Dan larut bersama air matamu
Hingga aku kan sirna seiring waktu
Tak membekas dalam fikiranmu
Hilang dan terlupa dari ingatanmu
Kala mantra-mantra cinta
Sudah mampu menutupi lubang dalam hatimu.

Biarkan tangisku
Berbaur bersama nyanyian alam
Hanya terisak dan tersedu kemudian membisu
Meski tersayat seiring asa yang terlelap.

Biarkan aku menangis
Dalam kepekatan malam yang bisu.
Dan sekarang, biarkan aku berkata;
“Selamat tinggal”
Karena ku sudah tak bisa menangis.

KALAM TERDAHSYAT

Sungguh tak terbayangkan deti-detik melepas kepergiannya, meski tak akan selamanya, tapi waktu akan cukup ampuh untuk merampas segalanya; merampas jiwaku, jiwa yang terus berlari mengejarnya. Merampas mimpiku, mimpi yang berada di bawah kakinya dan juga merampas semangatku, semangat yang layu bahkan mati tanpa dirinya. Perpisahan, memuakkan sekali kata-kata itu membuatku ingin muntah, muntah darah. Memang tiada yang pandai untuk meramal hari esok, tapi andai saja sua setelah perpisahan adalah suatu kepastian, bukan keajaiban, hati yang rapuh ini tak kan terjamah oleh permainan badai-badai keraguan. Ragu akan kehadirannya kembali dan ragu intonasinya akan terevolusi oleh ganasnya waktu, karena terlalu aneh bagiku untuk selalu meyakinkannya agar aku tatap bertahta dalam singgahsana hatinya, aku ini siapa dibanding dia? Aku ini hanyalah seorang sudra yang ingin belajar dewasa dengan cinta. Aku pun tak tau; sekedar kasihan ataukah memang ada cinta di kedalaman hatinya? Tapi aku tak peduli karena aku sudah terlanjur cinta kepadanya.
“Ar…….. aku ini tidak pandai ber-acting dan aku juga tidak pandai membuat skenario, jadi janganlah kau anggap ini sebuah derama!! Karena aku tidak akan pernah mempermainkan kamu dan aku benar-benar mencintai mu. Percayalah!!” keluhnya waktu itu, saat aku berlagak seperti anak kecil dan meragukan ketulusannya. Dia terlihat sedikit kecewa karena mungkin sudah beribu duri tajam ku tancapkan di hatinnya –maafkanlah aku sayang.
Karenanya ku pupuk berjuta asa dimasa depan, ingin membangun gubuk kecil untuk kita berdua di kejauhan angan, walau disetiap ujungnya kan terselip dengan menyebut takdir Tuhan. Dialah yang terbaik bagiku dan senyumannyalah yang membuat darahku berdesir-desir syahdu. –Kawan, Aku tidak bisa mati tampa dirinya.
Menjelang hari pengumuman kelulusan dia datang menghampir ku. Dia datang dengan seribu teka-teki yang harus ku jawab tampa soal-soal. Aku tak bisa, aku awam. Terlihat awan-awan kelabu, lelap bersarang di wajah melancolisnya. Dia menatap ku dengan tatapan yang berbeda, tatapan yang tak pernah ku kenal sebelumnya “Sungguh, jangan tatap aku seperti itu. Jika tidak, aku akan menjadi debu di sini,” jerit hatiku menahan tiap burusan-burusan tatapannya. Wajahnya yang teduh, seteduh langit biru –bukan, bahkan lebih dari itu– terlihat berbeda kala itu, seakan ada berjuta ton pemberat di mata indahnnya itu. Semuanya memang terasa serba berbeda, langit pun terlihat berbeda dengan mendung-mendung pekatnya. Aku masih tak mengerti, ada apa dengan semua ini? Kala pertanyaan-pertanyaan bergelut mengecutkan senyum manisku –dialah yang bilang kalau senyumku manis– dia berkata serak dan sedikat tertahan dengan nada yang terdenngar serius, “Ar… kamu tau ga’? mungkin dalam waktu dekat ini aku harus pergi, pergi jauh mengejar mimpi.” DHEZZZZZZZZ………… beton-beton itu ia lontarkan menghujami diriku yang masih berdiri dengan tatapan kosong menganga. Aku pongah dengan kepala mendongah, mendung-mendung pekat menertawakan ku. Bumi seakan retak menelan dan mengubur ku serta mimpi-mimpiku di bawah kakinya. Inilah gempa terdahsyat yang pernah aku rasakan. Memang, bukan hanya satu-dua kali dia memadamkan lampu kesadaranku, tapi inilah yang terdahsyat. “Pergi jauh mengejar mimipi” inilah yang terdahsyat, mimpi itu sepertinya hanyalah mimpi buruk, mimpi yang membius mimpi-mimpi indahku menjadi tak berdaya, menjadi luruh dan memelas kepadanya, “Jangan tinggalkan aku, rangkullah aku, aku lemah tanpa mu, bawalah aku atau hancurkan aku jika kau memang tak peduli pada ku, selebur debu yang ada di bawah kakimu, dari pada sang waktu yang akan mencengkeram dan melumat-lumat perasaanku.”
Hatiku semakin sempit untuk berkilah, beku. Dadaku telah kehabisan argument untuk melawan kenyataan, yach kenyataan manis semanis empedu, kenyataan yang membuat ku tidak bisa membedakan antara pahit dan manis. Keraguan dan kecemasan teraduk-aduk di bawah sadarku yang semu. Aku lelah, sungguh inilah yang terdahsyat. “Kapas tertiup angin” itu ungkapan yang sepertinya sangat pantas untuk mengejek keadaanku waktu itu, kala kalam terdahsyat menghantam ulu hatiku.

Rohman eL zarazy
Lerpace, 22 desember ‘09

EPILOG SEBUAH ASA

Suasan di sore itu nampak begitu cerah dan indah. Langit cemerlang tampa mendung-mendung yang menggunung, hanya ada secercah-secercah mega berwarna jingga menyala menambah keindahan langit yang seakan tersenyum menatap dunia. Tapi keindahan yang sempurna itu tak dapat meredam kegelisahan di hati Rofi. Entahlah, sejak pulang sekolah tadi, hatinya seperti diselimuti kejanggalan dan kegelisahan, seakan ada sesuatu yang akan terjadi dalam lembar warna-warni hidupnya. Dalam keraguan ia bertanya-tanya pada hati kecilnya, “Kanapa ya perasaanku kok ga’ enak begini?” desahnya seraya menatap langit-langit kamarnya. Saat ia tengah bergelut dengan beribu pertanyaan-pertanyaan yang kian mengganjal di hatinya, tiba-tiba ponselnya berdering. Setelah ia melihat nama pemanggil yang tertera di layar ponselnya, ia bertambah bingung, karena yang menelponnya adalah Daila, orang yang selama ini menjadi penghias mimpi-mimpinya. “Daila……?! Ada apa ya kok tumben menelpon ku jam-jam begini? Padahal tadi kan udah ketemu di sekolah?” Rofi membatin. Cepat-cepat ia menjawab panggilan itu, “Hallo il… tumben, ada apa?” sapanya. Suara yang di seberang sana nampak menyahut agak serak dan tertahan, “Rof, kita harus ketemu sekarang, aku ada perlu sama kamu, penting!! Bisa kan?” “sekarang?! ada apa sich? Penting banget ya? Kenapa ga’ dibicarain tadi aja di sekolah?” jawab Rofi seakan tak mengerti. Bingung, heran, dan ragu semua bergelut di kedalaman hatinya. Daila membisu, Rofi semakin bingung dan heran. “Baikilah kita ketemuan sekarang, tapi dimana?” kata Rofi memecah kebisuan. “Kamu datang aja ke sini di samping sekolah. cepat ya, aku tunggu…!!”
Dengan hati berdebar, Rofi langsung mengambil sepeda motornya dan cepat-cepat pergi menuju tempat yang telah dijanjikan oleh kekasih hatinya itu. Setelah dia tiba di tempat itu dan melihat Daila tengah menatap kedatangannya dengan sangat lekat, hatinya semakin berdebar. “Ada apa sich kok kamu ngajakin ketemuan di sini?” Rofi mulai bertanya. “Sebenarnya ga’ ada apa-apa, aku hanya ingin…… aaa… ingin mengatakan sesuatu sama kamu, tapi kamu janji ya kamu ga’ akan marah?!” kata Daila. Rofi semakin bingung dibuatnya. Tapi setelah ia melihat ada secercah keseriusan di wajah Daila, wajah yang telah membuatnya melewati malam-malamnya tanpa terlelap dengan tenang itu, dia mencoba untuk mengabulkan permintaan kekasih pujaan hatinya itu. “Ada apa sich? Bikin aku khawatir aja?! Baiklah, aku ga’ akan marah?!” “Rof maafkan aku karena selama ini aku selalu membuat kamu khawatir, gelisah, dan mengganggu ketenangan hatimu. Rof, terus terang aku tidak ingin larut dan melangkah lebih jauh lagi dalam menyiksa batinmu” ucap Daila, wajahnya pias. “Daila… apa sich maksudmu? kamu jangan bicara begitu, aku sayang kamu,” “Rof aku mengerti perasaanmu, aku tau akan ketulusan cintamu. Dan sekarang, aku benar-benar merasa tidak pantas dengan semua itu” Daila menangis, “Rof, mungkin selama ini aku telah berbohong padamu juga pada perasaanku sendiri. Satu hal yang harus kamu ketahui, Rof terus terang aku senang banget saat kau ungkapkan perasaanmu dulu padaku karena masih ada orang memperhatikan dan peduli kepadaku. Tapi bagaimana pun aku harus jujur pada perasaanku sendiri meski ternyata sekarang aku sudah terlanjur berbaur dengan dunia yang asing yang tak pernah ku harapkan sebenarnya, yaitu duniamu. Rof, bukannya aku ingin mempermainkan perasaanmu, tapi waktu itu aku benar-benar bingung, disatu sisi-sisi aku ingin jujur kepadamu kalau aku tidak mencintai mu tapi disisi lain aku takut mengecewakan mu. Rof, maafkan aku ya…” Daila melanjutkan kalimatnya dengan disertai airmata penyesalannya. Rofi tak kuasa lagi menahan gejolak hatinya, dadanya terasa sesak. Kalimat-kalimat Daila itu begitu ganas menghujam jiwanya bak kerikil panas burung-burung ababil menghujani perasaannya, lututnya pun tak kuasa lagi berdiri, dia meringkuk luruh tertunduk seraya bergumam, “Benarkah yang kau katakan itu? Sungguh tak pernah ku bayangkan, apakah itu memang tabiat kaum hawa? Sekarang benarlah apa yang dikatakan teman-temanku; bahwa di hatimu memang tidak pernah ada cinta untuk ku, tapi mengapa engkau tak pernah berterus terang akan hal itu? Mengapa?? Ah… sungguh sekarang aku benar-benar sadar kalau semua itu hanyalah keegoisan dan kemunafikanmu belaka. Sekarang pergilah, tinggalkan aku sendiri…!!” mulutnya gemetar seluruh tubuhnya pun bergetar seakan tertimpa gempa-gempa kecil dari kedalaman hatinya. Melihat semua itu, sekali lagi Daila berkata memohon permaafan darinya, “Rof maafkan aku. Sebenarnya aku…” “Pergilah…..!!!” Rofi semakin tertunduk.
Perlahan sang raja siang mulai rebah ke dalam peraduannya menyulap aura senja menjadi bayang-bayang malam kelam, sekelam perasaan Rofi yang tertindas keegoisan cinta. Betapa kekelaman telah bertahta dan menguasai hatinya, hingga senja yang begitu indah terlewati begitu saja dengan penuh air mata. Senja yang indah pun sudah menjelma malam yang pekat, Rofi semakin terpuruk dalam derita hatinya yang dalam, karena sudah tiada lagi senjata yang akan bisa ia andalkan untuk melawan kepekatan malam kecuali dengan linangan airmatanya, walau pada hakekatnya air matanya sudah tak mengalir, tertambat dan terus terbendung hingga akhirnya berubah menjadi kolam-kolam racun di kedalaman hatinya. Racun itulah yang akan terus dan terus membumbui jiwa dan fikirannya. Malam pun semakin larut dengan keheningannya, dia masih mematung terjaga, ia merasa sepi, terkucil, dan terasing. Tatapannya menerawang jauh menembus sudut-sudut langit yang gelap tanpa bintang, segelap hatinya yang telah dirongrong oleh keegoisan cinta. Sesekali ia menundukkan tatapan kosongnya ke dadanya, seakan-akan khawatir hatinya akan keluar dari dada itu karena terus tertekan dan tertekan oleh nestapa. Sementar di kejauhan malam, terdengar jangkrik-jangkrik dan burung malam terus tertawa mengejek dari balik kegelapan. Akhirnya, dia pun terlelap tanpa sadar ditelan malam yang telah menjajah perasaannya.
Walau keadaannya tidak begitu stabil karena terus dirongrong oleh kesedihan dan penderitaan, Rofi tetap menghatur langkahnya untuk pergi ke sekolah. Setelah ia tiba di sekolah dan memarkir sepeda motornya, tiba-tiba saja ada seseorang yang memanggilnya dari belakang, suara itu terdengar sedikit tertahan, ada getar keraguan dari intonasinya. Dia hafal betul dengan suara itu, mungkin itulah sebabnya dia tidak menoleh. “Rofi tunggu……!!” Daila memanggilnya, tapi dia masih memalingkan wajahnya. “Rof, maafkan aku ya… sebenarnya tak ada niat bagiku untuk mengecewakan kamu dan menyakiti hatimu,” katanya lagi. Dengan sisa-sisa ketenangannya Rofi mejawab, “Sudahlah, sudah lama aku lupa dengan yang namanya sakit hati, sudah terlalu kenyang dengan kata-kata itu hingga aku tak bisa merasakannya lagi, kejadian pahit-manis yang ku lalui hanyalah ku anggap sebagai lelucon yang lewat begitu saja bagiku,” ungkapnya. Padahal pada kenyataannya hatinya sangat terluka. kemudian dia berkata dengan sisa-sisa ketegarannya, “Sudahlah, jalani saja apa yang telah menjadi prinsip hidupmu janganlah kau fikirkan aku, aku ga’ apa-apa, sudah biasa.” Kemudian dengan langkah gontai dia beranjak dari tempat itu membawa kepingan hati yang kian menyesakkan dadanya, sementara Daila masih terpaku kekal menatap kepergiannya dengan menghayati kata-katanya yang berlambangkan kepedihan itu. Daila bergumam, “Aku bangsat, aku berdosa, aku telah mengecewakan dan menyakiti hatinya. Rofi maafakan aku… maafkan aku…” langkah Rofi semakin gontai dan berat, tiba-tiba saja langkahnya terhenti, spontan saja dia menoleh kemudian berteriak lantang dengan tangan terlentang menghadap Daila yang masih membeku di tempatnya, “Daila……!! Kamu ga’ bersalah, hanya aku yang bodoh, aku lugu dan ga’ akan pernah ada yang bisa mengerti diriku. Ini salahku karena aku ga’ pernah berani mastiin siapa sebenarnya diriku? Aku tak berani mengungkapkan kalau cinta adalah keegoisan, kemunafikan dan kesengsaraan. Aku hanya berani memaksakan cinta yang pada hakikatnya hanyalah airmata.” Itulah kerikil-kerikil cinta yang selama ini tertambat dalam lubuk hatinya, semuanya telah ia hempaskan layaknya seorang ksatria, dan sekarang ia merasa jantungnya sudah tak berdebar lagi, mungkin juga sudah tak bedetak.

aL Qur'an

Kita pasti kenal Al quran, karena sebagai orang islam yang hidup dalam komonitas islam pula, sejak belum lahir pun kita sudah dibisiki dengan ayat-ayatnya. Sedari kecil kita sudah diperkenalkan untuk mengeja huruf demi huruf dan kalimat demi kalimatnya hingga kita pun dapat meraba ayat-ayat serta surat-suratnya. Membaca ayat-ayat Al quran, demikian selama ini kita diajari. Tanpa mengerti artinya pun sudah ibadah, apalagi bagi yang mengerti. Begitulah kemurahan Tuhan. Tapi, apakah sebenarnya maksud Al quran diturunkan? Apakah hanya sekedar untuk dibaca sesuai dengan namanya sendiri, Quran, yang berarti bacaan? Tentu saja tidak. Tapi Al quran itu untuk dibaca kalimatnya, dimengarti artinya, direnungkan kandungannya, dan diamalkan pesannya. Itulah tujuan seutuhnya. Tapi, seperti yang telah kita ketahui bahwa hanya segelintir orang yang mungkin bisa demikian. Jadi, apakah Al quran itu hanya diperuntukkan buat para orang `Alim yang dapat menguasai kriteria yang tersebut diatas? Sekali lagi tidak. Karena Al quran diturunkan oleh Alloh berperan sebagai rahmat, dan siapapun berhak dan pantas untuk mendapatkan rahmat itu. Al quran akan merangkul siapa pun, kapan pun dan dimana pun tergantung pada kondisi batin & kapasitas pemikiran si pembaca. Tak menampik apakah itu orang islam atau bukan.
Bagi para pakar sosiologi, Al quran akan tampil sebagai kitab yang mencetuskan teori-teori sosial yang mengagumkan. Bagi para filosof, fisikawan, sejarawan, rohaniwan, sastrawan, budayawan dan para ahli lainnya Al quran merupakan sumber inspirasi yang subur yang tak pernah kering dengan teori-teorinya yang autentik yang tak dapat dipertentangkan. Itu sebabnya Al quran disebut dengan kitab multiwajah, karena semua orang pasti bisa berekspresi dan berinteraksi dengan Al quran sesuai dengan anggapan dan prasangkanya terhadap Al quran. Ya meskipun semua itu berbeda-beda. Karena sesungguhnya al quran adalah firman Alloh Swt yang berperan kongkrit sebagai pengganti-Nya di dunia sebagai penunjuk dan Rahmatan lil Alamin. Jadi, apapun anggapan kita terhadap Al quran sebenarnya itulah anggapan kita kepada Alloh. Dan Alloh akan selalu berada dalam anggapan itu, Ana `Inda Dhonni Abdiby.
Maka secara melihat dari semua itu dapat disimpulkan bahwasannya Al quran bukanlah hanya sekedar bacaan biasa, tapi merupakan bacaan tentang jati diri. Jadi kita sebagai orang mukmin yang selalu ingin berislam dengan kaffah, baik dalam aqidah, ibadah ataupun akhlaqiah. serta berkepribadian dan berpemikiran yang selalu cocok dengan Al quran, hendaknya kita selalu berperasangka baik kepada Alloh dan menjernihkan/mensucikan kondisi batin kita dengan jalan mempelajari hikmah bersesuci/berwudhu` serta ta`awudz yang selalu kita kerjakan sebelum kita membaca

K A R E N A M U

Perpisahan itu telah membuatku resah
Dan torehkan luka yang terus menganga
di kalbuku yang masih dahaga telaga cintamu
Sungguh aku tak mampu kehilanganmu
Sosokmu yang teramat sempurna di mataku
Tak mengidzinkan untuk sedikit membuka celah
Karena memang tak ada yang sanggup
Menggetarkan hatiku
Yang terlanjur beku karena cintamu.
Lentera kecil dihatiku kian meredup
Membuatku tak merasa apa yang kurasa
Hingga aku takut tak bisa lagi
Menerima kehadiran rasa yang paling indah
Bernama cinta.
Semua itu karenamu,
Karena kenangan yang terlalu manis
Yang tak mudah terkikis
Walau dengan tangis.
Sekarang tolong beri tahu aku
Bagaimana caranya
Menghapusmu dari hatiku?
Hanya itu

KETIKA CINTA HARUS MEMILIH

Ketika Sang fajar mulai muncul mengintai bumi, hati tak kuasa menahan perihnya gelombang asmara percintaan. Kicauan burung menyanyikan melodi cinta terdengar dari sudut-sudut alam yang mengintai sang insan yang lagi merana dibalik batu taman bimbi.
Kedurjanaan telah merantai relung kalbu yang penuh dengan tawa bahagia dikala sang fajar melambaikan tanganya di Alam raya, suasana terasa gelap gulita mengalabui pakian alam yang penuh dengan warna warni keindahan. Mulut terasa bungkam dan terkatup disaat sang bidadari terbang dari kayangan menjelma dihadapanku merayu-rayu meminta perhatianku, memupuskan kemauan hatiku yang sudah terbang bak pasawat Adam Air yang ingin menghampiri kota Paris nan jauh disana. Bidadari itu telah menghipnotis kemauanku dan cita-citaku yang melambung tinggi diatas sana mencari jati diri untuk masa depanya, namun…! Aku sadar bahwa bidadari ini adalah makhluk utusan Tuhan yang diturunkan untuk menguji nyaliku dihadapan tatapan kesuksesan di alam indah ini.
Keluargaku adalah orang agamis dan akademis yang ingin memberikan penghargaan termulia terhadap anaknya tuk menghadapi masa depan kelak.. Kurundingkan kedua cintaku terhadap orang yang memberikan titisan darahnya terhadap diriku dalam rangka memilih yang terbaik dalam aplikasi hidupku ini, tapi keadaan, ucapan dan kemauanya berbeda dengan harapanku yang terlena akan bidadari cantik itu. Perasaan jiwaku selalu tertuntut memenuhi tuntutan perasaan birahi.yang aku miliki, itulah gravitasi cewek yang mempunyai nama LAYLA yang selalu membuatku terhipnotis disaat melihat bibir merah delimanya.
Namun…! kuucapkan lafal pujian terima kasih terhadap Tuhan, ketika kuingat diriku akan terombang ambingnya perasaanku dikala aku harus memilih dua cinta yang aku miliki. Dikarenakan aku bisa memilih cinta yang terbaik dalam aplikasi hidupku ini berkat wadaliini yang so’ penda’i hebat dalam memberikan tausiahnya terhadap diriku. “Cinta bisa membutakan dan kadang bisa membahagiakan asalkan tidak didasari nafsu birahi”, itulah perkataan temanku yang so’ bijak dikelas XI.
Hari demi hari ku lalui dengan dipenuhi hantu kebingungan yang kian tidak menentu arah hidupku, kemana kaki harus melangkah dan kemana tangan harus meraba mencari solusi kemauan hati yang kontraduktif? Dan akhirnya kupasrahkan diri kepada Sang Ilahi Robbi sebagai manevestasi kelemahan insan dengan sholat Istikhoroh dalam rangka mengharap petunjuk-Nya

Islam Bukan Konsep

Zaman modern telah merambat kemana-mana baik di timur maupun dibarat disertai dengan efeknya terhadap mayoritas manusia, terutama bagi kalangan remaja. Banyak anak remaja dizaman modern yang bertingkah tidak sesuai dengan jati dirinya atau dengan kata lain bertingkah imitatif. Semua itu bisa terjadi dengan berbagai faktor pengglobalisasi cara hidupnya. Yang paling berpengaruh dari globalisasi itu ialah adanya bermacami media yang selalu menyodorkan tayangannya terhadap remaja dengan mempromosikan mode atau tren-tren ala barat yang tidak relevan dengan norma-norma doktrin agama islam. Sehingga orang yang jadi penonton setia terpengaruh dengan tayangan yang tidak mendidik itu, banyak anak remaja zaman sekarang yang mengkonsumsi produk kultural barat tanpa melakukan penetralisiran terlebih dahulu, seperti halnya mereka mengidolakan Nabi-nabi palsu mereka (artis) yang notabenenya tidak mengenal ajaran syare’at agama, sehingga merekapun rela mengorbankan diri mereka demi sang idolanya itu. Ironisnya hal itu telah merasuk kepada jiwa-jiwa yang selalu di hembuskan dengan hawa malaikat, sehingga merekapun menghilangkan identitas diri mereka dari ekstensi substasialnya. Mereka tidak sadar akan diri mereka yang telah diperkosa oleh trend-trend yang tidak sesuai dengan eksistensi diri mereka yang sebenarnya. Mungkin bisa ditoleransi kalau hal itu terjadi pada orang yang tidak mengenal rambu-rambu syareat, karena mereka tidak tau dalam memberi penilaian terhadap dirinya, tapi sangat disayangkan kalau hal itu terjadi pada orang yang notabenenya mengenal ajaran syare’at (katakanlah itu santri yang berdomisili dipesantren)
Menurut Dr. Umar Hasyim, anak remaja hidup dalam dua dunia, yang mana kedaan ini sangat berpengaruh bagi perkembangan masa remajanya:
1. Dunia hayalan, anak remaja selalu mendambakan apa yang tidak di milikinya
2. Dunia nyata, yang menuntut manusia harus bertindak secara realistis dan obyektif
Kemajuan modernisasi bukan saja membawa dampak positif terhadap perkembangan islam, tapi malahan sebaliknya, dengan kamajuan modernisasi banyak orang yang semakin jauh dengan norma-norma doktrin agama islam. Dengan kemajuan modernisasi pula banyak orang yang mengharap akan kemajuan dan perkembangan sub kulturalisasi agama islam, agar agama islam tidak di katakan kolot dan terbalakang, tapi realita berbicara lain, bahwa dengan kemajuan modernisasi kulturalisasi agama islam tercederai atau di perkosa oleh trend ala budaya barat. Maka sangat relevan kalau Rasulallah bersabda, ”Ummatku akan mengikuti cara hidup orang Yahudi dan Nasrani sedekit demi sedikit, sekalipun mereka masuk kelubang biawak.”
Agama selalu memberikan motivasi terhadap pengikutnya agar hidup kreatif, tapi bukan dengan cara mengikuti tren ala barat yang ditayangkan diberbagai media elektronik. Islam bukan agama konsep dan teori yang dibaca secara leteral saja tanpa mengaplikasikan kandungannya, tapi islam adalah agama yang akan membawakan kesejahteraan bagi manusia di muka bumi ini dengan memberi injeksi pendidikan kepada umatnya, dan hal itu tidak bisa diraihnya kecuali dengan mengaplikasiakan ajarannya secara intensif dan koprehensif.
Orang islam di zaman globalisasi sekarang ini banyak yang tidak mengakui akan identits diri mereka. Mereka gengsi kalau harus menampilkan kulturalisasi yang dinilai kolot oleh orang non islam, misalkan menampakkan pakaian yang sesuai dengan jatidirinya sebagai orang islam, mereka lebih memilih pakaian yang super mini and ketat yang tidak mencerminkan kultural islam.

ولن ترضى عنك اليهود والنصارى حتى تتبع ملتهم. الاية

Golongan missionaris dan zionis tidak akan pernah putus asa untuk mengkolonialisasi ummat islam lewat berbagai cara. Sehingga orang islam patuh dan tunduk terhadapnya. Kalau saya amati, ternyata orang-orang missionaris mulai berhasil melakukan visi dan misinya lewat kulturalisasi islam, sehigga orang yang dulunya dikenal sakral oleh masyarakat telah berubah menjadi orang yang di khawatirkan oleh mesyarakat, siapa lagi kalau bukan orang islam itu sendiri. Mereka sudah menjadi buah bibir masyarakat, karena kelakuanya banyak yang sudak tidak mencerminkan ekstensi dirinya, Mereka berpakian yang tidak mencerminkan kultural islam, kalau mereka di introgasi mereka bilang dengan nada setoi ”gaul meen…!!!” padahal mereka tidak tau arti gaul yang sebenarnya. Mungkinkah kita sadar akan kelakuan kita sendiri. yang perlu kita sadari bahwa kultur agama kita sudah diperkosa oleh budaya luar.

bahaya matrealis

Kondisi dunia telah berubah sesuai dengan tuntutan zaman yang merongrong manusia agar hidup kapitalis dan matrealis. Hal itu terbukti di dunia yang termasuk dalam katagori negara maju seperi Amerika dan Eropa. Namun terlepas dari itu semua, kita sebagai orang Islam harus mawasdiri dan sensitif dengan keadaan dunia kapitalis dan matrealis, karna itu bukan tujuan utama dan partikulir dalam hidup yang sementara ini. Apa lagi orientasi hidup seorang muslim adalah kebahagiaan dunia dan akhirat, dan kebahagiaan itu tidak tergantung pada dimensi kapital dan materi. Sangat amoral jika seorang muslim atau muslimah dalam memberi setandar atau mengukur kebahagiaan hanya terletak pada materi beleka, tanpa memperhatikan takdir yang sudah ditentukan dan digaris bawahi oleh Allah SWT tentang ketentuan adanya rizqi materi.

Islam menjungjung tiggi kesataraan dalam hidup ini. Islam tidak membenarkan adanya hidup kapitalis dan matrealis, seperti yang direalisasikan oleh orang barat. Oleh karna itu, Islam mewajibkan zakat terhadap umatnya sebagai manifestasi dan refleksi dari ekstensi kehidupan sosialisme. Jadi tidak etis dan logis kalau orang Islam menilai bahwa kehdupan ini hanya terletak pada materi saja, apalagi penilaian itu dilontarkan oleh kaum hawa yang sifatnya pasiv (menuggu) dalam menentukan pendamping hidupnya.

Cobalah kita bercermin dan mengkaji historis hidup yang direalisasikan oleh Rosulullah SAW, maka kita akan menemukan pelajaran berharga tentang suatu revolusi perjuangan Islam, dimana waktu itu Rosulullah SAW mengawini Siti Khotijah yang notabeninya termasuk orang hartawan dan bangsawan. Dengan begitu yakin dan cintanya kepada Rosulullah Siti Khotijah mendermakan dan mengoprasionalkan semua hartanya demi perjuangan suminya, sehigga suaminya menaruh perhatian lebih tehadapnya dibandingkan dengan istri-istrinya yang lain.

Yang perlu dicatat dan digaris bawahi dari ilustrasi historis hidup Rosulullah diatas ialah; “Yang lebih etis dan berhak untuk mempuanyai sifat matrealis itu ialah kaum adam mengingat tangung jawab dan beban yang disandangnya lebih banyak daripada kaum hawa,” apalagi Nabi pernah bersabda tentang cara orang laki-laki memilih pendamping hidupnya dengan mendahulukan materi.

تنكح المرأة لأربع: لمالها, ولنسابها,ولجمالها, ولدينها. الحديث
ARTINYA:
Orang perempuan boleh dinikahi atas empat dasar:
1). Harta (orang kaya).
2). Nasab yang baik (bukan anak orang bajingan).
3). Kecantikan (bersifat relative bagi kaum laki-laki).
4). Agama (agama islam)

SIZUKA, TERSENYUMLAH…!!!

“JikA kaU bErSeDih
SuDikaH kAu
mEmBagi kEseDiHaN iTu deNgAnQ?
Bila Kau GeLiSaH
MaUkaH Kau
MeNumPahKan keGeLisaHan iTu PadaQ?
DaN kEtiKa kAu mEnaNgiS
IDziKaN AirMaTamU TeRtAmPunG di HaTiQ”

Begitulah diantara sekian banyak sms Doraemon yang selalu ia kirimkan sekedar untuk menghibur hati Sizuka. Memang, sejak tiga bulan yang lalu, sejak Nobita pergi meninggalkan dia untuk selamanya, hatinya selalu diselubungi kabut-kabut duka berkepanjangan yang seakan tiada akhir. Ia begitu sock dan kaget atas kabar kematian Nobita disebabkan kanker otak yang dideritanya itu. Pada mulanya ia sangat menentang atas kabar itu. Karena menurutnya, tak sedikitpun Nobita mengeluh atau pun bercerita tentang penyakitnya itu. Namun akhirnya ia sadar dengan disertai linangan air matanya, saat dia melihat dengan mata kepalanya sendiri bahwa jasad sang kekasih tambatan hatinya sudah terbujur kaku tanpa ekspresi di depannya. Ia terisak, tersedu, dan … “Gak mungkin, gak mungkin, ya Alloh…… mengapa Engkau mengambilnya dariku? Mengapa, padahal Engkau Maha Tahu kalo aku sangat mencintai dia? Aku tak bisa hidup tanpanya……,” ratapnya sembari menutupkan kedua tangannya di mukanya, seakan tak rela. Hingga akhirnya dia pun luruh dalam pelukan ibunya, pingsan.
Sejak kejadian itu, Sizuka seakan tak bergairah lagi menjalani kehidupannya. Hari-harinya dilalui bagaikan palsu. Waktu-waktunya hanya dihabiskan dengan melamun. Ia terlihat begitu menderita, tak pernah sedikitpun ia beranjak sekedar untuk menepis ataupun melupakan penderitaanya. Saakan ia begitu akrab dan bersahabat dengan deritanya itu. Mungkin inginnya dia bisa larut dan menyatu dengan derita itu, hingga segala aktifitasnya pun terbengkalai. Seluruh keluarganya panik dan menghawatirkan keadaannya. Bermacam cara telah mereka lakukan untuk menghibur dan meyakinkan hatinya. Tapi gagal. Hingga akhirnya Doraemon, sahabat Nobita sekaligus teman akrabnya, merasa iba dan berkeinginan untuk menghiburnya.
Doraemon mencoba menghibur hati Sizuka. Mengajaknya tuk menertawakan kepedihan, menasehatinya agar mencela penderitaan, dan mengajarinya supaya mengingat-ingat kembali bagaimanakah cara tersenyum. Dia dengan sabar menulis sms untuk Sizuka, entah itu sms lucu atau pun nasehat, meski tak satu pun dari puluhan sms itu yang dibalasnya. Dia pun sering ke rumah Sizuka, sekedar untuk mengajaknya bicara agar ia tidak melamun terus-terusan atau kadang ia menghiburnya dengan cerita-cerita humornya. Doraemon sudah tidak asing lagi bagi keluarga Sizuka, bahkan orang tua Sizuka sering memanggilnya untuk membujuk sizuka, saat dia tidak mau makan. Mereka sangat bersyukur atas kehadiran Doraemon yang bisa membuat Sizuka sedikit berubah dari keterpurukannya.
Pada suatu hari. “Pak, gimana ya kalo kita menjodohkan Sizuka dengan Doraemon saja? Soalnya mama yakin kalo Doraemon pasti bisa membahagiakan dia,” kata mama Sizuka. “Kalo papa ikut gimana baiknya aja ma, Kayaknya sich mereka memang cocok,” jawab papanya. Dan setelah dimusyawarahkan dengan keluarga besar Doraemon, ternyata hal itu disambut baik oleh mereka. Akhirnya mereka sepakat untuk menjodohkan Sizuka dengan Doraemon dan mereka tinggal mencari waktu yang tepat untuk menentukan hari pertunangan mereka berdua.
Mendenar rencana pertunangan itu Sizuka sangatlah terkejut, terlebih-lebih Doraemon. Doraemon benar-benar kaget dan tak yakin atas rencana itu. “Gimana bisa seperti ini?” gumamnya. Karena dia menganggap bahwa segala perhatiannya selama ini terhadap Sizuka hanyalah sekedar perhatian seorang sahabat yang tengah prihatin melihat keadaan sahabatnya, tidak lebih. “Kamu mencintainya?” sungguh, dia benar-benar tidak bisa menjawab saat Jayen, sahabatnya, menanyakan seperti itu. “Lalu, apa kau menerima begitu saja rencana pejodohan itu jika kau tak mencintainya?” Tanya sahabatnya lagi. “Friend…… do’akan aku. Semoga Tuhan memberi jalan yang terbaik atas masalah ini. Tapi yang jelas, kalau ini memang yang terbaik buat Sizuka, apa pun akan ku lakukan demi kebahagiaannya dan juga demi sahabatku Nobita karena dia pernah memintaku untuk selalu menjaganya,” ungkap Doraemon datar, sedatar tatapannya yang lurus ke depan seakan menerawangi demensi alam tanpa batas. Begitu juga dengan Sizuka. Saat itu dia bagai terperangkap dalam badai kebimbangan. “Duhai Nobita kekasihku…… katakan padaku, apa yang harus aku lakukan? Aku harus bagaimana?” ia mengeluh dalam isakan panjangnya. Dia juga merasa tidak enak sama Doraemon karena sejak kejadian itu dia tidak pernah telpon, sms, apalagi mendatangi rumahnya lagi. Fikiran Sizuka kian terbebani dengan masalah itu hingga sedikit demi sedikit kondisinya kembali memburuk seperti saat ia kehilangan Nobita beberapa bulan yang lalu. Orang tuanya pun kembali bingung. Mereka mencoba menelpon Doraemon, tapi akhir-akhir ini nomornya tidak pernah aktif. Akhirnya, karena sekedar ingin menghibur hati Sizuka, mereka berencana mengajak Sizuka untuk bertamasya. Pada mulanya dia tidak mau. Tapi setelah dibujuk oleh mamanya akhirnya dia mau juga. Mereka juga mengajak Doraemon beserta keluarganya dalam kesempatan itu.
Hari itu. Saat mereka tengah asyik melihat-lihat beraneka macam bintang dalam kebun binatang itu. Tiba-tiba saja Rizuki, adik Sizuka, merenggek-renggek pada mamanya “Ma…… Rizuki pengen itu!!” renggeknya sambil menunjuk seorang pemuda bertopi dan menggendong ransel yang sedang asyik memotretkan kamera digitalnya pada aneka binatang di depannya. “Ga’ boleh…… !!” sahut mamanya. Tapi dia terus merenggek dan menyebut-nyebut kamera digital itu, hingga akhirnya terdengar oleh sang pemuda itu. Spontan saja dia menoleh sambil membuka topinya. “Adek pengen ini?” ungkapnya sambil menjulurkan kameranya pada Rizuki. Mereka tersentak kaget, semua tercengang, kaget melihat raut muka sang pemuda yang tengah tersenyum aneh di hadapan mereka. Mereka masih terdiam dibungkam ketidak percayaan, terutama Sizuka. Dia terpaku kekal di hadapan pemuda itu. Tanpa terasa airmatanya menetes dalam ketercengangannya. Dia benar-benar kaget, tak percaya, tak mungkin, ah…… “Kak Nobita…!! Kakak kemana aja sich sekalang kok ga’ pelnah main ke lumah? Kiki kan kangen,” sapa Rizuki sambil berhambur ke pelukan pemuda itu. “Nobita…??!” pemuda itu membatin sambil mengerutkan keningnya, heran. “Ee… iya… anu… kakak akhir-akhir ini sibuk banget, jadi ga’ bisa maen ke rumah adek,” jawabnya gugup sembari memeluk Rizuki. Sizuka semakin terpaku dalam kebisuannya, airmatanya kian tercucur, kakinya gemetar seakan ditopangi berjuta ton pemberat ditubuh indahnya itu. “Benarkah kau Nobita??” jerit batinnya. Doraemon pun masih bingung. Lidahnya kelu tak kuasa berkata meski sekedar tuk bertanya; siapa sebenarnya pemuda itu? “Tak mungkin dia Nobita,” dia mencoba meyakinkan hatinya karena dia sadar bahwa sahabatnya itu sudah meninggal dunia.
Pada mulanya pemuda itu merasa heran dan aneh melihat orang-orang di hadapannya yang kelihatannya sangat kaget melihatnya. Tapi entah kenapa setelah sedikit bercanda-canda dengan Rizuki ia sepertinya cuek-cuek saja kayak tidak ada masalah. Padahal, dia sudah melihat dengan jelas kalau orang-orang di depannya masih diselubungi kebingungan, terutama Sizuka yang masih saja menangis dalam kebisuannya. Tapi pemuda itu terus saja tersenyum tenang seakan tak mempedulikan mereka.“Emm…anu…ngomong-ngomong kamu……,”Doraemon membuka pembicaraan, tapi dia masih gugup. “Maksud kamu, siapa saya…?” sahut pemuda itu yang hanya dibalas dengan saling pandang oleh mereka sebagai tanda bahwa mereka masih tidak mengerti. Kemudian “Nich…… coba lihat!!” kata pemuda itu sambil memberikan sebuah foto yang diambil dari ranselnya. Mereka mengamati foto itu. Yang jelas foto itu adalah foto pemuda itu bersama seseorang yang sama persis dengannya, baik mukanya atau perawakannya, hanya rambut salah satu dari mereka agak panjang. “Itu adalah fotoku bersama kakakku,” ungkapnya. Mereka semakin bingung dan penasaran; siapa sebenarnya pemuda itu. “Oh iya…… perkenalkan, namaku Sunio, dan yang rambutnya agak panjang di foto itu adalah saudara kembarku. Dia adalah kakak yang baik, kami begitu dekat,” katanya datar, seakan memendam beban yang begitu besar di hatinya. “Tapi, lima tahun yang lalu kami broken home, kedua orang tua kami bercerai. Aku dipaksa untuk ikut bersama ayah ke luar kota sedangkan dia tetap tinggal bersama mama. Dia adalah kakak yang baik. Dia adalah kak Nobitaku,” imbuhnya. Semua tercengang mendengar cerita itu. Mereka saling pandang dan kemudian larut dalam perasaannya masing-masing. Ternyata Nobita memiliki saudara kembar. “Dan ketika kami mendengar kabar kalau kak Nobita telah meninggal, papa menyuruh ku tuk menemani mama karena mungkin dia sangat sedih dan kesepian,” Sunio melanjutkan ceritanya, tampaknya dia sangat bersedih. “Nak Sunio, kami juga sangat kehilangan atas kepergiannya. Semoga saja dia mendapatkan tempat yang layak di sisiNya,” kata papa Sizuka, berusaha menegarkan hati seseorang yang sebentar lagi akan menjadi tetangga barunya itu.
Sizuka sangat terkejut atas kejadian itu. “Betapa rumitnya tangan-tangan takdir mempermainkan skenario hidupku,” ia mengeluh. Bagaimana tidak, sudah sekian lama dia berusaha tuk memendam luka di kedalaman hatinya dan mengubur kenangan-kenagan silam antara dia dan Nobita. Tapi tiba-tiba saja luka itu kembali berdarah-darah dan bayang-bayang masa lalunya kembli datang menjelma ibarat monster yang menakutkan dan menggelisahkan hatinya. Dia memejamkan matanya mencoba tuk menyelami kedalaman hatinya. Sungguh, sejauh ini dia masih belum bisa memahami dan memaknai perasaannya sendiri. Dia seakan terjebak dalam perasaan-perasaan itu. Disatu sisi dia masih sangat mencintai Nobita dan tidak bisa melupakannya. Apalagi sejak dia bertemu dengan Sunio, dia merasa bahwa Sunio adalah sosok renkarnasi dari Nobita yang sengaja dikirim oleh Tuhan untuk menutupi lubang dalam hatinya. Tapi disisi yang lain dia tidak ingin menyakiti kedua orang tuanya yang sudah menjodohkannya dengan Doraemon. Orang tua Sizuka sebenarnya kini sudah sadar kalau putri tercinta mereka pada kenyataannya tidak bisa melupakan Nobita dan masih mencitainya, tapi mereka tidak bisa berbuat banyak karena mereka sudah terlanjur menjodohkannya dengan Doraemon. “Semoga saja Tuhan memberi kebahagiaan untuknya,” doa papanya sembari menghembuskan nafas beratnya. Doaremon pun kadang bertanya-tanya pada hatinya sendiri; “Mampukah aku membahagiakan Sizuka? Kalau pada kenyataannya dia tidak mencintaiku,” monolg hatinya.
Sizuka tersadar dari lamunan panjangnya kala HPnya tiba-tiba bordering. Dia terperanjat kaget saat melihat nama yang tertera di layar HP itu; “MY HEART” calling. Sudah tiga bulan lebih nomor itu tak menghubunginya. Rindu kembali menjajah hatinya. Tangannya terasa kaku, airmatanya kembali berderai, sungguh dia benar-benar tak kuasa mengangkat telepon itu. Aduhai… baru saja dia belajar untuk bangkit dan menatap ke depan serta tak ingin menoleh pada masa lalunya yang sudah membisu. Tapi entah kenapa kenangan itu kembali datang memanggil-manggilnya, mencabik-cabik perasaannya. Panggilan itu tak terjawab. Dia menghapus airmatanya saat satu pesan singkat (sms) hinggap di HPnya. Dia membacanya……
Dari; My Heart
AnDai Q pUnYa
sEGuDaNg kEbAhAgiAan
MaKa sEmUaNyA
kAn Q pErSeMbAhKaN
Hanx TeRuNtUk
2an Pu3 Sizuka.
By; 2an MuDa SuNio

Sms dari Sunio. Sunio sudah tau semuanya, mamanya sudah menceritakan semua tentang hubungan kakaknya dengan Sizuka. Dan setelah mambaca sms itu Sizuka akhirnya sadar, ternyata itu bukan Nobita tapi Sunio.“Nobita sudah mati,” dia membatin. Sekali lagi dia memejamkan matanya, kemudian mencoba membalas sms itu …
To; My Heart
JiKa kAu pUx sEgUdAnG
keBaHaGiaAn
IdziNkaN aQ meMinTanYa
SeGenGgAm sAjA.
SuDikAh KaU mEnGhAdiRi
pEsTa pErtUnAnGaNQ
MiNgGu DePaN?

Berat sebenarnya dia mengirim sms seperti itu, tapi dia harus tegar dan realistis demi meyaqinkan hatinya. Ternyata, bekas-bekas lara masih tersisa di hatinya.
Malam menjelma, menyisakan aura senja yang masih tersisa. Bintang gemintang sudah mulai mengerlingkan cahaya keindahannya. Entahlah, mengapa malam nampak begitu indah? Mungkin ia tak mengerti akan sebongkah kegelisahan yang kini tengah menyelimuti hati Sizuka. Sizuka masih mematung di depan kaca riasnya. Padahal, para undangan sudah mulai berdatangan menghadiri ruang tamunya. Sesekali dia menarik nafasnya dalam-dalam sambil terus memandangi potret dirinya dan mencoba berdialog dengannya “Sizuka, setegar apakah dirimu, hingga kau terus bersembunyi dalam selimut kemunafikan??” bisik hatinya. Tiba-tiba saja bayang Nobita kembali menyelinap ke dalam relung hatinya. Dia menghembuskan nafas beratnya dan berkata lirih seakan ingin membisiki bayangan itu, “Nobita… maafkan aku. Bukan maksudku tuk menghianati cintamu, tapi……”desahannya terputus. “Sizuka… sudah siap nak?” mamanya mengetuk pintu kamarnya. Dengan langkah gontai dia membuka pintu itu sembari mengusap sisa-sisa air matanya, masih kentara gurat-gurat kesedihan di raut wajahnya. “Sudah siap nak? Tamu-tamu sudah pada datang lo…,” ucap mamanya, terdengar jelas ada getar-getar keraguan dalam intonasinya. “Ma… doakan Sizuka ya,” Sizuka berhambur kepelukan mamanya. Pelukannya erat sekali, seakan ia ingin menumpahkan segala keluh kesahnya dalam pelukan itu. “Yang tegar ya sayang, semoga Tuhan selalu memberikan yang terbaik buat kamu,” bisik mamanya agak serak. “Kita keluar yuk, tamu-tamu di luar sudah penasaran lho pengen ngelihat putri mama yang cantik ini, tapi senyum dulu dong… biar kelihan lebih cantik,” bujuk mamanya sambil menghiburnya. Mereka melangkah menuju ruang tamu, semua orang memperhatikannya terutama keluarga besar Doraemon. Doraemon pun nampak tenang dengan seutas senyumnya yang kalem. Padahal sebelumnya dia sangatlah risau dengan pertunangan itu. Sesaat setelah itu, Sunio datang bersama mamanya yang kemudian disambut hangat oleh Doraemon. Dia tersenyum pada Sizuka seakan menggoda, tapi senyuman itu hanya dibalas dengan senyuman yang hambar seakan dipaksakan yang mengandung arti; Save My Soul. Sebentar lagi acara pertukaran cincin akan dilaksanakan. Tapi… “Para hadirin semua yang saya hormati. Terima kasih kami ucapkan kepada kalian semua Karena telah sudi menghadiri undangan kami,” Doraemon menyapa para undangan disertai senyum lebarnya. Semua mata tertuju padanya dan mendengarkan ucapannya. “Sebelum pertunangan ini dilakukan, saya ingin mengatakan satu hal yang mungkin tidak pernah kalian duga sebelumnya,” lanjut Doraemon. “Nobita adalah sahabat baikku. Kami sangat akrab, hingga aku dapat merasakan segala apa yang menjadi masalahnya, termasuk masalah cintanya dengan Sizuka dulu,” Doraemon memulai ceritanya. “Dia begitu menyayangi Sizuka dan tidak ingin mengecewakannya. Tapi dia merasa putus asa kala kanker otak divoniskan padanya hingga tak memberi kesempatan padanya tuk bernafas lebih lama lagi,” Doraemon menarik nafasnya dalam-dalam. Semua terdiam mendengar ceritanya. “Dan sebelum dia meninggal, dia pernah berpesan agar aku bisa menjaga Sizuka. Sizuka juga sahabatku. Aku pun ingin melihatnya bahagia dan ingin menjadi pelipur atas segala laranya karena aku sudah menganggapnya sebagai adikku sendiri. Sebenarnya dari dulu aku sudah ragu, aku takut tidak bisa melaksanakan amanah sahabatku Nobita, aku takut tidak bisa menjadi sahabat yang baik buat Sizuka, namun aku selalu berusaha tuk membahagiakannya serta ingin menjadi bagian dari kegelisahan dan airmatanya. Tapi kini aku sudah tenang, karena sekarang sudah ada seseorang yang mungkin lebih pantas untuk menjaganya. Aku yakin dia pasti bisa membahagiakan Sizuka. Dia adalah sahabatku Sunio yang tak lain adalah adik kembar Nobita sendiri,” Doraemon tersenyum yakin sambil menepuk-nepuk pundak sahabat barunya itu. Sunio pun tanpak tenang, seakan sudah ada rencana sebelumnya. Memang, sejak pertemuan di kebun binatang itu, Sunio sudah ada rasa simpati pada Sizuka. Tapi dia hanya mencari waktu yang tepat aja untuk mengungkapkannya .Semua orang tampak saling pandang satu sama lain kemudian melemparkan pandangannya pada Sunio. Doraemon menatap kedua orang tuanya seakan meminta persetujuan. Akhirnya mereka menganggukkan kepala dengan disertai senyuman yang meyakinkan. “Jadi ku harap, malam yang indah ini bukanlah malam pertunangan antara aku dengan Sizuka, melainkan pertunangan antara Sizuka dengan sahabatku Sunio,” ucap Doraemon memutuskan. Sizuka tertunduk diam. Butir-butir air mata kembali menetes di pipinya. Dia bingung apa yang harus ia lakukan. Dia gemetar. Dia ingin ingin berontak dan lari dari acara itu, tapi kala matanya beradu dengan tatapan Sunio, jiwanya seakan luluh lanta tak berdaya. Sunio menghampirinya. “Tuan putri Sizuka, tersenyumlah…… !! dan idzinkan aku tuk buktikan padamu bahwa aku mampu tuk membahagiakanmu. Wahai tuan putriku…… sudikah kau menerima cintaku?” ucapnya romantis sambil mempersembahkan sebuah cincin kepada Sizuka. Sekali lagi Sizuka menatap lekat tatapan Sunio, seseorang yang kini menabur berjuta harapan untuknya, dia melihat bayang-bayang Nobita tengah tersenyum manis padanya dalam tatapan bening Sunio, tatapan yang sudah lama sangat ia rindukan. Tanpa terasa dia menjulurkan jarinya untuk di pakaikan cincin itu. Dia tersenyum di sela-sela derai airmatanya. Aduhai, senyumnya tak lagi hambar, bahkan sangatlah manis, semanis senyumnya pada Nobita, dulu.
Pakong, 31 Oktober 2009

K E R U D U N G

Ku pandangi dan ku teliti sudah lima kerudung yang ku beli dari macam ragam jenis warna dan model, namun aku tak pernah memakainya kecuali hanyalah sedikit waktu saja. Ku ambil yang berwarna merah hati, karena warnanya adalah warna favoritku. Ku pakai kerudung itu dengan perasaan malas. Ku pandangi sebuah cermin didepanku, dengan penuh kagum aku berkata pada diriku sendiri, ”Wahai wajahku, sepertinya kamu lebih cantik ketika memakai kerudung, ibumu pasti senang kalau kau terus memakainya”

Ku otak atik fikiranku dan ku ingat mungkin sudah lebih dari tiga kali ibu menyarankan diriku untuk memakai kerudung, tapi dasar aku anak yang tergolong manja yang belum bisa mematuhi perintah orang tua disebabkan karena aku masih diracuni sebuah keraguan yang selalu mengintai fikiranku. Padahal di hari ulang tahunku yang ke-17 aku dihadiahi sebuah mobil yang cukup mewah dan berharga bagiku, namun…..!!! bila ku ingat-ingat sebuah majalah yang ku baca beberapa bulan yang lalu yang mana didalamnya menyatakan bahwasanya; kerudung hanyalah sebuah budaya dalam kehidupan orang-orang timur tengah{arab}, rasanya apa gunanya aku memakai kerudung?? bukankah itu hanyalah kebudayaan orang-orang arab ??!! Kring…… kring…… kring…….
Ku angkat gagang telepon yang menggugah imajinasiku, rasa-rasanya aku mengenal suara yang di diseberang sana itu, tidak salah lagi, dialah penelpon misterius itu. Spontan……, “ Hei……kamu lagi kamu lagi. Mo apa sich kamu nelpon kesini terus??!” Ku coba bertanya sama dia, agak tidak sopan sich sedikit. “ Hay…… pa kabar? Kamu tahu enggak, aku ini patner ibumu lho……?!” mendengar pengakuannya, darahku langsung naik turun, marah kayaknya. But aku berusaha untuk menguasai diri. Tenang… tenang……
“ Jadi, selama ini kamu hanya ingin bicara dengan ibuku?”
“ Tidak juga”, jawabnya dengan tenang.
“ Lalu untuk apa?”, tanyaku
“… …” Diam diam dan diam
“ Lalu untuk apa…?!” tanyaku lagi
“ Kamu jangan salah faham dulu, nyantai dulu kenapa sich? Emm…. Sebenernya aku ada perlu ma kamu. Kata ibumu, kamu perlu nasehat, he… he… he… sorry ”
Mendengar semua itu aku hanya membisu. ” Ibu, ternyata kau masih memperhatikan diriku, walaupun aku tak bisa memenuhi permintaanmu”, ku bergumam dalam hati.
“ Ooo…… gitu ya? So, sekarang mau kamu apa?”
“ Kalo boleh sich aku mo ketemu gitu ma kamu, bukannya apa-apa atau gimana-gimana sich, hanya biar kita lebih akrab aja. Oh iya ngomong-ngomong kapan ya kita bisa ketemu?”
“ Kapan ya……?? Kalo besok gimana? Soalnya besok aku nyantai, nggak ada tugas”, kataku
“ Boleh juga. oh iya, aku boleh pake` baju merah nggak?”
“ Jangan……!! Entar pertemuan kita jadi meriah he…3x. Sorry, Cuman bercanda, oke see you tomorrow.”

Kuitari semua sudut restoran berlantai dua itu dengan penuh teliti, tepat dimeja paling pojok kutemui seorang cowok tersenyum padaku. Ku beranikan diri melangkah menghampirinya, walau sekalipun aku belum pernah mengenalnya. Tapi aku yakin pasti dia orangnya. Dan sekarang aku benar-benar telah berdiri tepat didepannya, dia masih tetap tersenyum.
“ Pakabar?” ku membuka pembicaran dengan sok akrab, ya ampun…… dia masih saja tersenyum dan hanya menjawab pertanyanku dengan senyum kudanya itu.
“ Kenalkan, Inul Darahmuda” ku ulurkan tanganku padanya
“ Yuda, Yuda Darahtua, he…he… sorry bercanda. Silahkan duduk” dia membalas uluran tanganku sambil tak henti-hentinya tertawa. Dasar, emang apanya yang lucu?

Waktu itu aku hanya memakai pakaian millenium kata orang sekarang, yach bisa digolongkan dengan pakaian yang you can see gitcu. Mulai awal ku perhatikan dia selalu memandangi pakaianku dengan pandangan yang agak aneh. Aku tersinggung, lalu ku beranikan diri untuk menegornya,
“ Kamu kok ngelihatinnya kayak gitu sich? Kamu nggak suka ya? Ya, walaupun aku berpakian seperti ini aku masih muslimah yang ta`at lho……”, Glekk, apa aku salah bicara ya?
“ Tapi, bukankah seorang muslimah tidak diperbolehkan berpakaian seperti itu? Malah seorang muslimah wajib memakai kerudung”, jawabnya. “ kerudung?! Bukankah itu hanya sebuah budaya?” Bisikku dalam hati. Ku tarik nafas panjang tak lama kemudian kuhembuskan,
“ Tapi, bukankah kerudung itu hanyalah kebudayaan orang-orang arab?” kataku agak ragu
“ Jadi selama ini kau anggap bahwa kerudung hanyalah sebuah budaya?. Kalau memang begitu berarti pakaian itu kau anggap juga sebagai budaya orang-orang barat dong……?? Asyik juga ya kalo gitu?”
“ Yach begitulah kira-kira”, hanya itulah yang bisa ku jawab “ Tapi bagaimana menurutmu kalo yang menyatakan pendapat seperti itu adalah seorang pemimpin umat, kiai misalnya?” Imbuhku
“ Maksudmu yang menganggap bahwa kerudung hanyalah suatu budaya itu? Kalo menurutku sich, siapa saja yang menyatakan suatu pendapat yang memang jelas-jelas bertentangan dengan hukum Alloh, ya tetap tidak boleh diikuti. Bukankah hukum Alloh sudah jelas dalam kitabnya bahwa kerudung itu diwajibkan bagi setiap muslimah. Dan semua itu tidak bisa dirubah dengan wacana apapun. Mungkin inilah dampak negative orang terlalu banyak membaca, namun kitab dan sunnahnya ditinggalkan”.
“ Sudah ah, kayak siraman rohani aja!! Kalo bicara terus kapan makannya dong……?? Silahkan…!!” kataku mengalihkan pembicaraannya ketika aku merasa terpojokkan.
“ Yud makasih ya… kamu telah banyak memberikan keterangan atas semua keraguanku selama ini.”
Mulai saat ini aku berjanji akan memakai kerudung, aku yakin ibuku pasti senang dengan keputusanku ini. Yuda adalah sebaik-baiknya teman dalam diriku, karena teman yang baik adalah teman yang mengarahkan pada jalan kebaikan.


Self eL zarazy The Lerpace Child

SEDIH ITU PERLU

Menangislah jika harus menangis
Kerena kita manusia.
Manusia bisa terluka
Dan manusia pun bisa mengambil hikmah?”


Mungkin kita sudah sangat akrab dengan syair di atas. Karena selain kerap diputar di media-media elektronik seperti radio dan televisi, syair yang dilantunkan oleh group band ternama ~Dewa 19~ itu juga mengandung makna dan pesan yang sangat manusiawi, yaitu tentang kesedihan dan juga tentang bagaimana cara menyikapinya. Kesedihan merupakn suatu keniscayaan selama kita masih mengenal yang namanya kebahagiaan. Karena keduanya merupakan sunnatulloh yang tak dapat ditolak bagi kita selaku manusia biasa. Kecuali jika kita memang tidak diberi kesempatan untuk itu, alias crazy. Apakah sedih terus? Ataukah bahagia terus? Saya tidak bisa menganalisisnya.
“Sedih merupakan suatu kondisi yang wajar,” begitulah kata para Ahli psikologis (psikiater). Meski terkadang cara pandang kita berbeda dalam memaknai kesedihan, tapi yang pasti, sedih (bersedih) itu memiliki peran yang sangat positiv sekali terhadap fikiran dan hati seseorang. Entah itu kesedihan yang disebabkan oleh hal-hal yang bersifat ukhrowi ataupun duniawi, sama saja. Karena hati yang sedang dirundung kesedihan menandakan bahwa hati itu tidak mati. Ia hidup, sebab kesedihan tidak akan masuk ke dalam hati melainkan ketika ia dalam keadaan sadar. Dan kesadaran hati menunujukkan bahwa ia hidup. Sebaliknya, kesenangan duniawi akan datang kedalam hati ketika ia dalam keadaan lalai. Dan kelalaian itu menunujukkan bahwa ia telah mati. Maka kesedihanlah (kesadaran) yang akan membangkitkan hati itu sehingga ia menjadi hidup kembali. So, bersyukurlah kalau kita masih bisa bersedih.
Jika kita mengibaratkan hati adalah sebuah rumah, maka kesedihan adalah AC-nya. Dikala rumah (hati) telah gerah dengan udara (suasana) yang lembab (bahagia, muak, senang, dll) atau rumah itu sudah sesak dipenuhi oleh debu-debu (marah, emosi, kesal, sebal, dll) didalamnya, maka AC (sedih)-lah yang akan sangat berperan untuk menetralisir udara di rumah itu agar tidak terlau lembab sekaligus membersihkannya dari debu-debu sesak itu.
Sedih juga bisa membuat kita lebih bijak dalam memaknai kehidupan. Karena saat dalam kondisi bersedih kita seperti; berada dalam ruangan yang sangat sempit, sedangkan pandangan kita jauh menerawang ke ruang yang luas. Sebaliknya jika kita sedang dalam keadaan kelewat senang, kita seperti hidup menari-nari di ruang yang sangat luas dan lapang. Tapi hati dan fikiran serta pandangan kita terperangkap dan terpenjara dalam sebuah ruang yang sangat sempit, sebatas kebahagiaan itu sendiri dan ujung-ujungnya egois. Dan dengan kesedihan pula kita bisa menghargai kebahagiaan karena dengan adanya kesedihanlah kita bisa lebih yakin kalau kebahagiaan itu benar-benar tercipta.
Terlepas dari semua itu, bukan berarti kita harus selalu larut dalam ekstase kesedihan, Bersedu-sedan dan terus membiarkan kesedihan itu merongrong jiwa kita. Akrab dengan kesedihan sich tidak masalah, tapi kita harus sadar bahwa; kesedihan hanyalah refreshing hati, penjengahan, muhasabah dan proses persiapan diri untuk bersikap lebih dewasa dan positive. Jadi kalau kita sudah merasa siap, tinggalkanlah kesedihan itu dengan tanpa melupakannya, sebagai cerminan bahwa kita pernah bersedih dan bukan tidak mungkin esok kita akan bersedih lagi.

Imam Abu Sulaiman Abdurrahman bin ‘Athoillah Addarani berkata,
“Bukanlah kesedihan itu dengan menderaikan air mata.
Tapi meninggalkan apa yang kamu tangisi
Itulah tangisan yang sesungguhnya.”



*eL zarazy, The Lerpace Child

LaYLa


Seandainya
ku menjadi airmata dimatamu
aku akan menangis dan jatuh di pipimu
dan akan mati di bibirmu.
Tapi seandainya
kau menjadi airmata dimataku
aku tidak akan biarkan kau jatuh dan menangis
karena aku sangat cinta, sayang
dan tidak ingin berpisah dengan airmata itu.

SEDERHANA SAJA

Kau penuh makna di hatiku

Jika kau ingin tau

Caraku mencintaimu

Sederhana saja

Bagai lilin di kutub utara

Meleleh tak menyala

Sejak kau berdua

Aku benar-benar terluka.

Hah jika kau mau berbagi rasa

Coba saja

Mungkin kau akan gila

Atau mungkin binasa

“Derita itu bisa sirna,”

Mudah saja kau berkata.

Mungkin iya,

Tapi nanti, tidak seketika.

Santai saja

Sampai mati rasa.

Sebenarnya, bisa saja ku merajalela

Merahwana

Memveto segala,

Tapi untuk apa???

Jujur saja;

Kosong makna.

eL zarazy, The Lerpace Child

B r I n G s A n G

Ngennes ateh se mekkereh

Ngacapak aeng matah tak remareh

Apah be’nah lo’ ngarteh

Sengko’ lo’ bisa ngaloppaeh kakeh.


Ateh bringsang

Pekkeran posang

Dulih belein…!!

Egibe’eh demmah

Rassah se ta’ karoan reah?




Duh, mi’ ce’ nyiksanah

Ancor ngalocor ateh rassanah.

Mon la kareh cekka’ mi’ lo’ bisa elang,

Abe’ pon la kareh kole’ ben tolang.

eL zarazy, The Lerpace Child

MENJAUHLAH

Yang datang dan yang pergi
Yang di angan dan yang dihati
Jauh menjauhlah jangan dekati
Tak pantas kau kasihani
Jiwa yang tak bernaluri ini.
Tataplah mataku, liar
Tak ada sambung rasa disana.
Jiwa ini tak beperasaan
Jiwa ini hanya mencari kepuasan
Dan menaklukkan adalah kebanggaan.
Tak perlu mengumpat dan mencaci
Biar tak semakin perih sobekan hati.
Beta memang gila
Dan cinta adalah dosa
Cinta bukan untuk orang gila.
Beribu maaf dan sesal tertuju
Padanya, dia dan dirimu.
Karena datang membawa derita
Dan pergi merengkuh tawa.
Maafkan aku.



Self eL Zarazy

Ku Titip Rinduku PadaMU

Siapakah diriku tanpa dirinya?
Hanya raga kosong tanpa jiwa
karena dia telah membawa jiwaku.
Jiwaku menangis seperti anak kecil
dan terus berlari mengejarnya.
Kini, aku merindukan jiwaku
Jiwa yang telah menyatu dengannya.

Rinduku menyiksaku
Rinduku telah menjadi penyakit.
Rindu membuatku gila dalam waras
Rindu membuat senyumku menjadi aneh
Rindu telah merubahnya menjadi hantu.

Ah, aku rapuh.
Rindukah dia disana?
Duh Gusti…………….
Ku titip rindu ini padaMu
Ku titip dia pula padaMu.


*Self el Zarazy, The lerpace child

M Y N I G H T


Malam……
Kau tau
Aku terperangkap pilu.
Kau tau
Aku terpuruk.
Kau tau
Aku gila.
Hati ini gersang kering kerontang.
Elok mentari telah membutakanku
Dan dirunut senja kelabu aku tertipu.

Kini……
Dibalik tabirmu aku bersembunyi
Aku ingin hilang, terlupa dan tak terlihat lagi.
Pada dinding-dindingmu aku bersandar
Aku lelah, lemah terkapar.
Apa kau melihat lambaianku?
Apa kau mendengar desahku?
Semoga saja begitu.

Malamku……
Ku titip hatiku padamu
Bawalah ia pada singgahsanamu
Jangan pernah lelah mendekap lelahnya
Dan jangan putus asa merangkul keputus asaannya.
Semoga saja.

DOOR DUISTERNIS TOT LICH



“Braaakkk…..” tabrakan itu terdengar histeris kala Rofi dan keluarganya berada di dalam Honda jazz itu. Jalur lalu lintas terhenti sejenak, mobil ambulanpun datang dengan suaranya yang khas dan orang-orangpun sama-sama panik dan sibuk di tempat kejadian untuk melarikan mereka ke rumah sakit. Dan akhirnya merekapun dibawa kerumah sakit. Setelah mendapat perawatan yang intensif, Rofi dapat diselamatkan. Namun ayah, ibu beserta adiknya telah pergi meninggalkannya untuk selamanya. Sehebat apapun manusia berusaha tapi Tuhanlah yang berkuasa atas segalanya. Hari itu adalah hari yang sangat menyakitkan bagi Rofi, bukan saja karena telah ditinggal oleh keluarganya tapi karena dirinya harus menerima kenyataan yang sangat pahit sekali bahwa dia harus memakai kursi roda. Kecelakaan itu memaksa dokter untuk mengamputasi kedua kaki Rofi, karena kedua kakinya retak dan tidak bisa untuk dioprasi, maka mau tidak mau kakinya harus diamputasi.

Sosok pendiam itu menatap jauh menerawang ke setiap sudut ruangan dalam rumahnya yang besar dan mewah itu. Lidahnya kelu tanpa sepatah katapun terucap seperti terkunci begitu saja. Dengan kursi roda yang selalu setia menemaninya dia pergi menuju ruang tengah. Disana terpampang wajah-wajah yang begitu disayanginya namun meraka telah pergi mendahuluinya meninggalkan beribu rasa yang tak mungkin bisa ia jelaskan. matanya yang tajam kini sembab sudah tergenang butiran airmata memandangi foto-foto itu. “Betapa begitu cepatnya waktu berlalu dan mengambil kalian semua dariku,” keluhnya sambil menitikkan airmata. Kehidupan yang dipenuhi dengan canda dan tawa, kini hampa tanpa suara-suara. Kasih sayang dan kebahagiaan yang selama ini telah memanjakannya kini raib sudah di atas tangan-tangan takdir. Namun Rofi adalah orang yang tabah dan bertakwa, seberat apapun cobaan yang ia hadapi, ia tetap berusaha untuk lapang dada dan ikhlas hati menerimanya. “Semua yang terjadi adalah atas idzinMu dan tiada satupun yang terlapas dariMu. Aku yakin ini adalah yang terbaik bagiku. Maka jadikanlah hamba termasuk orang-orang yang sabar,” Rofi mulai rebah dalam doa-doanya.

Ternyata, penderitaan belum sampai disitu. Pagi itu Rofi menerima telepon yang mengabarkan bahwa perusahaan ayahnya telah diambil alih oleh orang lain. Sungguh tak disangka, kini dirinya sudah tak punya apa-apa lagi.

“Duh Ya Robb……!!!” hati Rofi semakin rebah atas-Nya.

“Tok… tok… tok…” nada ringan ketukan pintu membuyarkan lamunannya. Perlahan dia menarik kursi rodanya menuju pintu didekat ruang tamu. Setelah pintu terbuka ia benar-benar terperanjat melihat dua orang laki-laki yang memakai baju hitam-hitam. Tak sepatah katapun mereka lontarkan, acuh tak acuh, beringas, seakan tak ada sambung rasa pada tatapan matanya, hanya secarik kertas yang mereka berikan secara spontan dan tanpa basa-basi. Rupanya mereka adalah petugas keuangan yang ingin menagih sisa pembayaran kreditan rumah yang selama ini masih belum terbayar. Pupus sudah harapannya selama ini untuk bisa meneruskan perjuangan keluarga besarnya. Sebab, dikarenakan kejadian itu, mau tidak mau dia harus pergi dari rumah itu dan hidup sebatangkara dalam asa yang terputus. Bersama kursi rodanya ia diantar oleh pembantunya yang dulu bekerja dirumahnya menuju sebuah asrama khusus anak-anak yatim piatu. Musibah yang menimpanya membuat dia harus menetap di tempat itu karena dia tak banyak tahu lagi tentang kerabatnya yang bisa dimintai pertolongan. Hari-harinya sangatlah sunyi dan sepi, tapi untunglah Ibu asrama disitu sangatlah baik dan ramah. Ia pun merasa senang karena dalam asrama itu diadakan berbagai macam pelatihan kesenian seperti; menyulam, menenun, dan berbagai keterampilan lainnya. Entah kenapa Rofi ingin sekali mengikuti kursus karang-mengarang dengan harapan agar dia bisa menjadi seorang pengarang yang hebat seperti yang telah dicita-citakannya. Fikirannya mengembara ke masa lalu dimana ia ingat pada sang ayah yang selalu memotivasinya agar menjadi seorang penulis yang hebat yang senantiasa berjuang lewat karangannya. Ia pun teringat pada ibu dan adik-adiknya, tanpa terasa airmatanya menitik lagi “Aku akan tetap berjuang untuk kalian, aku tidak boleh putus asa,” gumamnya. Kehidupan sudah berganti, semua hanyalah kenangan yang telah menjelma bayang yang akan selalu menghiasi setiap derap langkahnya.

Sebulan sudah ia mengikuti kursusan itu, ia begitu semangat dan rajin apalagi di asrama akan diadakan lomba mengarang dalam rangka merayakan ulang tahun asrama yang ke-9. Tak ada hari tanpa belajar bagi Rofi. Ia menulis dan terus menulis menuangkan ide-ide yang berserakan di kepalanya, karena baginya itu adalah kesempatan baik yang harus ia manfaatkan. Saat mengikuti lomba itu ia begitu konsen dan teliti dan ia berharap itu adalah karangan terbaiknya.

Kata demi kata telah dilontarkan oleh sang pembawa acara pada malam itu. Tibalah saatnya untuk mengumumkan pemenang untuk lomba mengarang. Saat itu hati Rofi mersa tidak karuan, fikirannya melayang-layang, matanya menatap penuh harap. Tapi ternyata keberuntungan tak berpihak kepadanya, ia tak mendapatkan apa-apa kecuali harapan-harapan hanpa. Parahnya lagi, teman-teman yang biasanya memberi semangat kepadanya merasa sangat kecewa dan mengucilkannya begitu saja. Terlintas lagi dalam benaknya saat ban mobil yang ditumpanginya tiba-tiba tergelincir dan membuat mobil itu terbalik dan merenggut semua keluarganya. “Andai saja ku dapat memutar waktu kembali, mungkin kehidupan ini akan lebih baik dari sekarang. Namun, semuanya sudah terjadi apalah guna untuk disesali,” Rofi mulai mendesah kembali.

Menjelang datangnya 17 agustus, seperti biasanya asrama mengadakan berbagai macam lomba agar lebih menyemarakkan suasana, tidak terkecuali lomba mengarang. Segala sesuatunya telah dipersiapkan. Semua pesertapun mulai berkumpul di aula utama yang kebetulan terletak di dekat bangunan asrama. Dalam kamar yang tak begitu luas Rofi terbaring tak berdaya, ia menatap nanar teman-temannya yang sedang ikut lomba dari balik jendela kamarnya itu. Kakinya bengkak karena terpeleset di kamar mandi, hingga ia tidak bisa pergi ke aula itu. Dengan bantuan sahabat karibnya, Fathur, akhirnya dia diperbolehkan mengikuti lomba dari dalam kamar. Dan tidak ada yang mengetahui hal itu kecuali panitia lomba dan sahabat karibnya itu. Rofi pun berusaha sebaik mungkin untuk membuat yang terbaik, karena baginya kesempatan tak mungkin terulang dua kali.

Detik-detik penobatan para sang juarawan terlantun penuh gema. Para penonton bersorak ria menyambut acara tersebut. Rasa tak percaya terbesit menari-nari, meloncat-loncat dalam benak para hadhirin terutama Ibu asrama. Sungguh tak percaya, Rofi menang dan dinobatkan sebagai pengarang terbaik pada kesemapatan itu. Kemenangan Rofi memang sungguh tak disangka oleh siapapun, bahkan Rofi sendiri hanya terpatung mendengarnya. Sebab yang mereka tahu, Rofi tidaklah ikut dalam lomba tersebut. Tepuk tangan nan riuh mengiringi kebahagiaan Rofi waktu itu. Deraian airmata mengalir di pipinya, mulutnya terkatup, hanya sebuah senyum tersungging disitu. Rofipun saling berpeluk haru dengan Fathur meluapkan kebahagiaannya. Fathur memang sahabat karibnya yang senantiasa mendampinginya kala sedih maupun senang sejak ia pertama masuk ke asrama itu. Keadaan fisiknya yang sempurna tidak membuatnya membeda-bedakan teman karena bagi Fathur semua orang itu sama melainkan amal perbuatannyalah yang membedakannya. “Ya Alloh, mungkin inilah hikmah dibalik semua cobaan-Mu,” ucap Rofi membatin. Meski dia telah kehilangan semua keluarganya tapi dia kini sudah memiliki keluarga yang baru yaitu; asrama dan juga pun Fathur yang telah menganggapnya sebagai seorang adik.

Aku dan Malam

Kala ku mulai gelisah menapaki lika-liku kehidupan, pedih-perih rasa hati ini menginjak bara-bara kegetiran. Ku berlari dan terus berlari mengacuhkan lelah. Kan ku kibas peluh-peluh luka yang masih tersisa. Aku ingin menertawakan kepedihan, mencaci setiap keluhan, mengejek keputus asaan dan akan terus berlari menyusuri labirin penderitaan. Karena aku adalah derita dan derita adalah aku. Biarlah kerikil bercadas meyapa kakiku, tak peduli panas menyengat kepalaku, biar saja hujan memeluk tubuhku dan badai membelai mesra ragaku. Biarlah, biar saja, ku tak akan peduli. Meski tanpa arah dan tujuan aku akan terus berlari membawa kegelisahan ini. karena aku sangat benci pada mentari, aku kecewa pada siang dan aku tidak akan berhenti apalagi bernaung di senja ini. Dan aku sudah tak akan percaya lagi kalau matahari adalah penerang bagi kegelapan jiwa ini. Aku kecewa dan benar-benar tidak akan pernah mempercayainya lagi. Karena dia telah tega mengumpan ku untuk bemain dengan api dan panasnya hingga kemudian mencaci ku kala api itu tengah membakar segalaku. Ah, diumpan kemudian dicaci, benar-benar menyakitkan.

Langkahku terhenti di bibir malam. Aku getir, khawatir. Jubah hitamnya mengibas dan menari-nari di hadapanku. Aku gamang, aku takut. Aku berfikir sejenak mencoba berfilsafat; aduhai, bagaimanakah malam akan memperlakukan aku? Siang saja yang sarat akan harap dan kepercayaan telah melemparkan aku pada kubangan derita, apalagi dia, yang diselimuti gelap dan keegoisan? Aku terpaku kekal dengan berjuta kekhawatiran yang mengintimidasi perasaanku. Ku terdiam diamuk pilu, aku takut, benar-benar takut. Kenapa aku bisa terdampar di sini? Teringat semua bayang-bayang kelabu kala mentari menyinari ku dengan kemunafikannya, juga jejak-jejakku yang terseret saat senja tak mempedulikan aku, membuat perasaan ini semakin diremas-remas ketakutan. Ingin sekali ku terus berlari kencang menyusuri belantara malam, menembus lorong-lorong gelapnya, bersandar pada dindingnya, berpeluk dan bercumbu dengan dinginnya, hingga ku kan hilang, tak terlihat dan tak terbaca lagi. Tapi aku tak bisa, benar-benar tak bisa. Entahlah, tiba-tiba saja aku seperti didera perasaan takut. Takut akan cadas-cadas yang runcing, semak-semak berduri, beling-beling pecah, batu dan kerikil-kerikil di belantara gelap itu semakin membuat kakiku berdarah-darah. Ketakutan itu membuat sumsum kakiku serasa berserakan di tanah. Aku tak kuasa berdiri apalagi berlari.

Malam beranjak semakin gelap. Hati ini semakin getir, karena aku tak punya penerang sedikit pun. Tak ada peta tak ada kompas, aku seperti kehilangan arah dan temali, kehilangan semuanya. Mungkin malam mengerti, mungkin pula dapat membaca isyarat hati. Ia mendekati ku dan merangkul ku. Ia berbisik, “Kamu takut? Kenapa takut? Lelaki tak boleh takut. Kamu harus berani. Dan janganlah lari dari kenyataan.” Aduhai, ada apa dengan kata-kata itu? Bagaikan listrik, menyetrum denyut nadiku. Bagai tangan-tangan malaikat, mencubit ulu hatiku. Sumsum yang berserakan, sedikit demi sedikit merambat merapat dan mulai menyusut kembali dikarenakan kata-kata itu. Ajaib, benar-benar ajaib. Apakah aku tengah bermimpi? Ataukah itu sekedar fatamorgana? Entahlah, setahuku, fatamorgana tidak pernah menjelma di malam gelap. “Bangunlah. Aku ingin melihat senyummu. Bangkitlah, engkau terlalu agung untuk berlutut di situ. Bicaralah...!!” ucapnya lagi. Aku heran, benar-benar tak percaya. Inikah malam yang diselimuti gelap dan keegoisan itu? Ada apa dengannya? Aku yakin, dari intonasinya, ia pasti sedang tersenyum. Tapi senyumnya masih samar. Karena ia masih berselimut gelap. “Agung...??” aku gugup dan hanya sepatah kata ini yang bisa ku haturkan kepadanya. “Yach, agung. Engkau agung di hatiku. Engkau datang ibarat obor bagiku, ah, bukan. Masih kurang agung. Engkau bagai rembulan. Ah, bukan juga. Masih kurang agung. Engkau ibarat cahaya. Yach, cahaya. Cahaya di atas cahaya. Cahaya yang agung di hatiku. Bicarala...!!” katanya lagi. Sungguh benar-benar kata yang tak ku fahami. Tapi aku senang mendengarnya. Seagung itukah aku baginya? “Wahai malam, sedang bercandakah engkau dengan sabdamu yang indah itu?” hati ini menjerit dan masih tak percaya. “Cahaya? Cahaya apa???” tanyaku seakan tak mengerti. “Yach cahayaku. Aku gelap, aku dingin. Kaulah cahaya yang ku rindu untuk menerangi sudut gelap itu, tepis prahara sepi dalam jiwaku. Aku ingin menjadi malammu, malam yang selalu kau terangi dengan cahayamu,” ujarnya lagi. Aneh terasa menyelimut kata-kata itu. Tapi begitu jelas. Jelas, sejelas jelasnya. Ada harap, hiba sekaligus memaksa di situ. Aku bingung. Kegelisahan mulai merambat menelusupi relung jiwaku. Kenangan kelam di masa silam menorehkan berjuta ragu di kedalaman hatiku. Ragu pada malam juga ragu pada diriku sendiri. Secepat inikah? Apa yang dilihat malam dariku? Sekedar kasihan ataukah ingin mengumpan dan menambah pilu? Aku harus menyabdakan keraguan ini padanya, harus, “Tapi aku rapuh, masa laluku kelam, jejak langkah ini pun gersang. Aku takut kau akan kecewa dengan jiwa yang rapuh ini. Aku takut kau menyesal dan putus asa akan perasaamu sendiri. Aku takut cahayaku tak sebening yang kau mau. Ah, aku takut sekali,” ungkapku apa adanya. Semoga saja ia mengerti.

Malam beranjak semakin gelap. Hati ini pun mulai terjajah oleh kegetiran. Dari balik jubah kebesarannya malam berbisik, ”Jika kau rapuh idzinkan aku untuk menegarkanmu. Jangan takut. Lelaki tak boleh takut. Kamu harus berani, karena rasa di hati ini tulus pada mu.” Kata-kata itu sudah cukup meyakinkan sebenarnya. Tapi masih ada sisa-sisa keraguan di hati kecilku. “tapi aku gila!!!” ku ungkap saja keraguan itu padanya. “Jika kau gila, idzinkan aku menjadi seperti Layla yang rela gila bersama Qaisnya. Aku ingin gila karenamu.” Aduhai malam. Ada apa denganmu? Aku bukan Qais. Apa kau benar-benar ingin menjadi seperti Layla karena ku? Ah, tidak. Meski pun aku benar-benar Qais, aku tidak ingin mewariskan sedikit pun deritaku ini padamu. Ataukah kau memang benar-benar Layla? “Bukan, bukan itu yang ku maksud. Maksudku; apakah kau tidak malu merangkul orang gila seperti ku?” ku pertanyakan lagi keteguhannya. Bukan karena aku tak yakin akan perasaannya, tapi sekedar ingin meneguhkan perasaanku saja. “Cahayaku,” ucapnya khidmat “Aku mau mendampingi dirimu. Aku mau cintai kekuranganmu. Aku yang rela terluka untuk masa lalumu. Aku mau kamu. Hanya itu.” Aku terdiam. Diam sediam diamnya. Kata-kata itu bagai arus dahsyat yang menerjang dan menenggelamkan perasaanku. Ku coba sekali lagi menyelami samudera hati ini.¬ Biru, tenang, damai, tak ada gejolak atau pun debur-debur ombak. Hanya riak-riak kecil yang tampak menari-nari di sana. Malam, apakah engkau benar-benar ingin berlayar ditengah samudera itu?

Mungkin malam mengerti mungkin pula dapat membaca isyarat hati. Ia tersenyum disambut rindu. Senyumnya tak lagi samar. Gelap nan pekat juga awan-awan sesak terkibas jauh oleh aura senyumnya. Aku terpesona dan masih tanpa kata. Mungkinkah aku tersihir oleh senyuman itu? Kegelisahan, ketakutan, kekhawatiran serta keraguan tiba-tiba saja menjelma menjadi kerinduan. Ah, aku benar-benar diamuk rindu. Malam, kini ku rindu bait senyummu seperti gelap rindukan fajar pagi. Aduhai malam, apakah di sini, di balik tabirmu, aku akan bersembunyi? Aku ingin hilang, terlupa dan tak terlihat lagi. Dan pada dinding-dindingmu idzinkan aku untuk bersandar. Aku rapuh, aku lelah terkapar. Lihatlah lambaianku. Dengarkanlah desahku. Wahai malam, ku titipkan hati ini pada mu. Bawalah ia pada singgahsanamu. Jangan pernah lelah mendekap lelahnya dan jangan pernah putus asa merangkul keputus asaannya. Hanya itu.