SEDIH ITU PERLU

Menangislah jika harus menangis
Kerena kita manusia.
Manusia bisa terluka
Dan manusia pun bisa mengambil hikmah?”


Mungkin kita sudah sangat akrab dengan syair di atas. Karena selain kerap diputar di media-media elektronik seperti radio dan televisi, syair yang dilantunkan oleh group band ternama ~Dewa 19~ itu juga mengandung makna dan pesan yang sangat manusiawi, yaitu tentang kesedihan dan juga tentang bagaimana cara menyikapinya. Kesedihan merupakn suatu keniscayaan selama kita masih mengenal yang namanya kebahagiaan. Karena keduanya merupakan sunnatulloh yang tak dapat ditolak bagi kita selaku manusia biasa. Kecuali jika kita memang tidak diberi kesempatan untuk itu, alias crazy. Apakah sedih terus? Ataukah bahagia terus? Saya tidak bisa menganalisisnya.
“Sedih merupakan suatu kondisi yang wajar,” begitulah kata para Ahli psikologis (psikiater). Meski terkadang cara pandang kita berbeda dalam memaknai kesedihan, tapi yang pasti, sedih (bersedih) itu memiliki peran yang sangat positiv sekali terhadap fikiran dan hati seseorang. Entah itu kesedihan yang disebabkan oleh hal-hal yang bersifat ukhrowi ataupun duniawi, sama saja. Karena hati yang sedang dirundung kesedihan menandakan bahwa hati itu tidak mati. Ia hidup, sebab kesedihan tidak akan masuk ke dalam hati melainkan ketika ia dalam keadaan sadar. Dan kesadaran hati menunujukkan bahwa ia hidup. Sebaliknya, kesenangan duniawi akan datang kedalam hati ketika ia dalam keadaan lalai. Dan kelalaian itu menunujukkan bahwa ia telah mati. Maka kesedihanlah (kesadaran) yang akan membangkitkan hati itu sehingga ia menjadi hidup kembali. So, bersyukurlah kalau kita masih bisa bersedih.
Jika kita mengibaratkan hati adalah sebuah rumah, maka kesedihan adalah AC-nya. Dikala rumah (hati) telah gerah dengan udara (suasana) yang lembab (bahagia, muak, senang, dll) atau rumah itu sudah sesak dipenuhi oleh debu-debu (marah, emosi, kesal, sebal, dll) didalamnya, maka AC (sedih)-lah yang akan sangat berperan untuk menetralisir udara di rumah itu agar tidak terlau lembab sekaligus membersihkannya dari debu-debu sesak itu.
Sedih juga bisa membuat kita lebih bijak dalam memaknai kehidupan. Karena saat dalam kondisi bersedih kita seperti; berada dalam ruangan yang sangat sempit, sedangkan pandangan kita jauh menerawang ke ruang yang luas. Sebaliknya jika kita sedang dalam keadaan kelewat senang, kita seperti hidup menari-nari di ruang yang sangat luas dan lapang. Tapi hati dan fikiran serta pandangan kita terperangkap dan terpenjara dalam sebuah ruang yang sangat sempit, sebatas kebahagiaan itu sendiri dan ujung-ujungnya egois. Dan dengan kesedihan pula kita bisa menghargai kebahagiaan karena dengan adanya kesedihanlah kita bisa lebih yakin kalau kebahagiaan itu benar-benar tercipta.
Terlepas dari semua itu, bukan berarti kita harus selalu larut dalam ekstase kesedihan, Bersedu-sedan dan terus membiarkan kesedihan itu merongrong jiwa kita. Akrab dengan kesedihan sich tidak masalah, tapi kita harus sadar bahwa; kesedihan hanyalah refreshing hati, penjengahan, muhasabah dan proses persiapan diri untuk bersikap lebih dewasa dan positive. Jadi kalau kita sudah merasa siap, tinggalkanlah kesedihan itu dengan tanpa melupakannya, sebagai cerminan bahwa kita pernah bersedih dan bukan tidak mungkin esok kita akan bersedih lagi.

Imam Abu Sulaiman Abdurrahman bin ‘Athoillah Addarani berkata,
“Bukanlah kesedihan itu dengan menderaikan air mata.
Tapi meninggalkan apa yang kamu tangisi
Itulah tangisan yang sesungguhnya.”



*eL zarazy, The Lerpace Child

LaYLa


Seandainya
ku menjadi airmata dimatamu
aku akan menangis dan jatuh di pipimu
dan akan mati di bibirmu.
Tapi seandainya
kau menjadi airmata dimataku
aku tidak akan biarkan kau jatuh dan menangis
karena aku sangat cinta, sayang
dan tidak ingin berpisah dengan airmata itu.

SEDERHANA SAJA

Kau penuh makna di hatiku

Jika kau ingin tau

Caraku mencintaimu

Sederhana saja

Bagai lilin di kutub utara

Meleleh tak menyala

Sejak kau berdua

Aku benar-benar terluka.

Hah jika kau mau berbagi rasa

Coba saja

Mungkin kau akan gila

Atau mungkin binasa

“Derita itu bisa sirna,”

Mudah saja kau berkata.

Mungkin iya,

Tapi nanti, tidak seketika.

Santai saja

Sampai mati rasa.

Sebenarnya, bisa saja ku merajalela

Merahwana

Memveto segala,

Tapi untuk apa???

Jujur saja;

Kosong makna.

eL zarazy, The Lerpace Child

B r I n G s A n G

Ngennes ateh se mekkereh

Ngacapak aeng matah tak remareh

Apah be’nah lo’ ngarteh

Sengko’ lo’ bisa ngaloppaeh kakeh.


Ateh bringsang

Pekkeran posang

Dulih belein…!!

Egibe’eh demmah

Rassah se ta’ karoan reah?




Duh, mi’ ce’ nyiksanah

Ancor ngalocor ateh rassanah.

Mon la kareh cekka’ mi’ lo’ bisa elang,

Abe’ pon la kareh kole’ ben tolang.

eL zarazy, The Lerpace Child

MENJAUHLAH

Yang datang dan yang pergi
Yang di angan dan yang dihati
Jauh menjauhlah jangan dekati
Tak pantas kau kasihani
Jiwa yang tak bernaluri ini.
Tataplah mataku, liar
Tak ada sambung rasa disana.
Jiwa ini tak beperasaan
Jiwa ini hanya mencari kepuasan
Dan menaklukkan adalah kebanggaan.
Tak perlu mengumpat dan mencaci
Biar tak semakin perih sobekan hati.
Beta memang gila
Dan cinta adalah dosa
Cinta bukan untuk orang gila.
Beribu maaf dan sesal tertuju
Padanya, dia dan dirimu.
Karena datang membawa derita
Dan pergi merengkuh tawa.
Maafkan aku.



Self eL Zarazy

Ku Titip Rinduku PadaMU

Siapakah diriku tanpa dirinya?
Hanya raga kosong tanpa jiwa
karena dia telah membawa jiwaku.
Jiwaku menangis seperti anak kecil
dan terus berlari mengejarnya.
Kini, aku merindukan jiwaku
Jiwa yang telah menyatu dengannya.

Rinduku menyiksaku
Rinduku telah menjadi penyakit.
Rindu membuatku gila dalam waras
Rindu membuat senyumku menjadi aneh
Rindu telah merubahnya menjadi hantu.

Ah, aku rapuh.
Rindukah dia disana?
Duh Gusti…………….
Ku titip rindu ini padaMu
Ku titip dia pula padaMu.


*Self el Zarazy, The lerpace child

M Y N I G H T


Malam……
Kau tau
Aku terperangkap pilu.
Kau tau
Aku terpuruk.
Kau tau
Aku gila.
Hati ini gersang kering kerontang.
Elok mentari telah membutakanku
Dan dirunut senja kelabu aku tertipu.

Kini……
Dibalik tabirmu aku bersembunyi
Aku ingin hilang, terlupa dan tak terlihat lagi.
Pada dinding-dindingmu aku bersandar
Aku lelah, lemah terkapar.
Apa kau melihat lambaianku?
Apa kau mendengar desahku?
Semoga saja begitu.

Malamku……
Ku titip hatiku padamu
Bawalah ia pada singgahsanamu
Jangan pernah lelah mendekap lelahnya
Dan jangan putus asa merangkul keputus asaannya.
Semoga saja.

DOOR DUISTERNIS TOT LICH



“Braaakkk…..” tabrakan itu terdengar histeris kala Rofi dan keluarganya berada di dalam Honda jazz itu. Jalur lalu lintas terhenti sejenak, mobil ambulanpun datang dengan suaranya yang khas dan orang-orangpun sama-sama panik dan sibuk di tempat kejadian untuk melarikan mereka ke rumah sakit. Dan akhirnya merekapun dibawa kerumah sakit. Setelah mendapat perawatan yang intensif, Rofi dapat diselamatkan. Namun ayah, ibu beserta adiknya telah pergi meninggalkannya untuk selamanya. Sehebat apapun manusia berusaha tapi Tuhanlah yang berkuasa atas segalanya. Hari itu adalah hari yang sangat menyakitkan bagi Rofi, bukan saja karena telah ditinggal oleh keluarganya tapi karena dirinya harus menerima kenyataan yang sangat pahit sekali bahwa dia harus memakai kursi roda. Kecelakaan itu memaksa dokter untuk mengamputasi kedua kaki Rofi, karena kedua kakinya retak dan tidak bisa untuk dioprasi, maka mau tidak mau kakinya harus diamputasi.

Sosok pendiam itu menatap jauh menerawang ke setiap sudut ruangan dalam rumahnya yang besar dan mewah itu. Lidahnya kelu tanpa sepatah katapun terucap seperti terkunci begitu saja. Dengan kursi roda yang selalu setia menemaninya dia pergi menuju ruang tengah. Disana terpampang wajah-wajah yang begitu disayanginya namun meraka telah pergi mendahuluinya meninggalkan beribu rasa yang tak mungkin bisa ia jelaskan. matanya yang tajam kini sembab sudah tergenang butiran airmata memandangi foto-foto itu. “Betapa begitu cepatnya waktu berlalu dan mengambil kalian semua dariku,” keluhnya sambil menitikkan airmata. Kehidupan yang dipenuhi dengan canda dan tawa, kini hampa tanpa suara-suara. Kasih sayang dan kebahagiaan yang selama ini telah memanjakannya kini raib sudah di atas tangan-tangan takdir. Namun Rofi adalah orang yang tabah dan bertakwa, seberat apapun cobaan yang ia hadapi, ia tetap berusaha untuk lapang dada dan ikhlas hati menerimanya. “Semua yang terjadi adalah atas idzinMu dan tiada satupun yang terlapas dariMu. Aku yakin ini adalah yang terbaik bagiku. Maka jadikanlah hamba termasuk orang-orang yang sabar,” Rofi mulai rebah dalam doa-doanya.

Ternyata, penderitaan belum sampai disitu. Pagi itu Rofi menerima telepon yang mengabarkan bahwa perusahaan ayahnya telah diambil alih oleh orang lain. Sungguh tak disangka, kini dirinya sudah tak punya apa-apa lagi.

“Duh Ya Robb……!!!” hati Rofi semakin rebah atas-Nya.

“Tok… tok… tok…” nada ringan ketukan pintu membuyarkan lamunannya. Perlahan dia menarik kursi rodanya menuju pintu didekat ruang tamu. Setelah pintu terbuka ia benar-benar terperanjat melihat dua orang laki-laki yang memakai baju hitam-hitam. Tak sepatah katapun mereka lontarkan, acuh tak acuh, beringas, seakan tak ada sambung rasa pada tatapan matanya, hanya secarik kertas yang mereka berikan secara spontan dan tanpa basa-basi. Rupanya mereka adalah petugas keuangan yang ingin menagih sisa pembayaran kreditan rumah yang selama ini masih belum terbayar. Pupus sudah harapannya selama ini untuk bisa meneruskan perjuangan keluarga besarnya. Sebab, dikarenakan kejadian itu, mau tidak mau dia harus pergi dari rumah itu dan hidup sebatangkara dalam asa yang terputus. Bersama kursi rodanya ia diantar oleh pembantunya yang dulu bekerja dirumahnya menuju sebuah asrama khusus anak-anak yatim piatu. Musibah yang menimpanya membuat dia harus menetap di tempat itu karena dia tak banyak tahu lagi tentang kerabatnya yang bisa dimintai pertolongan. Hari-harinya sangatlah sunyi dan sepi, tapi untunglah Ibu asrama disitu sangatlah baik dan ramah. Ia pun merasa senang karena dalam asrama itu diadakan berbagai macam pelatihan kesenian seperti; menyulam, menenun, dan berbagai keterampilan lainnya. Entah kenapa Rofi ingin sekali mengikuti kursus karang-mengarang dengan harapan agar dia bisa menjadi seorang pengarang yang hebat seperti yang telah dicita-citakannya. Fikirannya mengembara ke masa lalu dimana ia ingat pada sang ayah yang selalu memotivasinya agar menjadi seorang penulis yang hebat yang senantiasa berjuang lewat karangannya. Ia pun teringat pada ibu dan adik-adiknya, tanpa terasa airmatanya menitik lagi “Aku akan tetap berjuang untuk kalian, aku tidak boleh putus asa,” gumamnya. Kehidupan sudah berganti, semua hanyalah kenangan yang telah menjelma bayang yang akan selalu menghiasi setiap derap langkahnya.

Sebulan sudah ia mengikuti kursusan itu, ia begitu semangat dan rajin apalagi di asrama akan diadakan lomba mengarang dalam rangka merayakan ulang tahun asrama yang ke-9. Tak ada hari tanpa belajar bagi Rofi. Ia menulis dan terus menulis menuangkan ide-ide yang berserakan di kepalanya, karena baginya itu adalah kesempatan baik yang harus ia manfaatkan. Saat mengikuti lomba itu ia begitu konsen dan teliti dan ia berharap itu adalah karangan terbaiknya.

Kata demi kata telah dilontarkan oleh sang pembawa acara pada malam itu. Tibalah saatnya untuk mengumumkan pemenang untuk lomba mengarang. Saat itu hati Rofi mersa tidak karuan, fikirannya melayang-layang, matanya menatap penuh harap. Tapi ternyata keberuntungan tak berpihak kepadanya, ia tak mendapatkan apa-apa kecuali harapan-harapan hanpa. Parahnya lagi, teman-teman yang biasanya memberi semangat kepadanya merasa sangat kecewa dan mengucilkannya begitu saja. Terlintas lagi dalam benaknya saat ban mobil yang ditumpanginya tiba-tiba tergelincir dan membuat mobil itu terbalik dan merenggut semua keluarganya. “Andai saja ku dapat memutar waktu kembali, mungkin kehidupan ini akan lebih baik dari sekarang. Namun, semuanya sudah terjadi apalah guna untuk disesali,” Rofi mulai mendesah kembali.

Menjelang datangnya 17 agustus, seperti biasanya asrama mengadakan berbagai macam lomba agar lebih menyemarakkan suasana, tidak terkecuali lomba mengarang. Segala sesuatunya telah dipersiapkan. Semua pesertapun mulai berkumpul di aula utama yang kebetulan terletak di dekat bangunan asrama. Dalam kamar yang tak begitu luas Rofi terbaring tak berdaya, ia menatap nanar teman-temannya yang sedang ikut lomba dari balik jendela kamarnya itu. Kakinya bengkak karena terpeleset di kamar mandi, hingga ia tidak bisa pergi ke aula itu. Dengan bantuan sahabat karibnya, Fathur, akhirnya dia diperbolehkan mengikuti lomba dari dalam kamar. Dan tidak ada yang mengetahui hal itu kecuali panitia lomba dan sahabat karibnya itu. Rofi pun berusaha sebaik mungkin untuk membuat yang terbaik, karena baginya kesempatan tak mungkin terulang dua kali.

Detik-detik penobatan para sang juarawan terlantun penuh gema. Para penonton bersorak ria menyambut acara tersebut. Rasa tak percaya terbesit menari-nari, meloncat-loncat dalam benak para hadhirin terutama Ibu asrama. Sungguh tak percaya, Rofi menang dan dinobatkan sebagai pengarang terbaik pada kesemapatan itu. Kemenangan Rofi memang sungguh tak disangka oleh siapapun, bahkan Rofi sendiri hanya terpatung mendengarnya. Sebab yang mereka tahu, Rofi tidaklah ikut dalam lomba tersebut. Tepuk tangan nan riuh mengiringi kebahagiaan Rofi waktu itu. Deraian airmata mengalir di pipinya, mulutnya terkatup, hanya sebuah senyum tersungging disitu. Rofipun saling berpeluk haru dengan Fathur meluapkan kebahagiaannya. Fathur memang sahabat karibnya yang senantiasa mendampinginya kala sedih maupun senang sejak ia pertama masuk ke asrama itu. Keadaan fisiknya yang sempurna tidak membuatnya membeda-bedakan teman karena bagi Fathur semua orang itu sama melainkan amal perbuatannyalah yang membedakannya. “Ya Alloh, mungkin inilah hikmah dibalik semua cobaan-Mu,” ucap Rofi membatin. Meski dia telah kehilangan semua keluarganya tapi dia kini sudah memiliki keluarga yang baru yaitu; asrama dan juga pun Fathur yang telah menganggapnya sebagai seorang adik.

Aku dan Malam

Kala ku mulai gelisah menapaki lika-liku kehidupan, pedih-perih rasa hati ini menginjak bara-bara kegetiran. Ku berlari dan terus berlari mengacuhkan lelah. Kan ku kibas peluh-peluh luka yang masih tersisa. Aku ingin menertawakan kepedihan, mencaci setiap keluhan, mengejek keputus asaan dan akan terus berlari menyusuri labirin penderitaan. Karena aku adalah derita dan derita adalah aku. Biarlah kerikil bercadas meyapa kakiku, tak peduli panas menyengat kepalaku, biar saja hujan memeluk tubuhku dan badai membelai mesra ragaku. Biarlah, biar saja, ku tak akan peduli. Meski tanpa arah dan tujuan aku akan terus berlari membawa kegelisahan ini. karena aku sangat benci pada mentari, aku kecewa pada siang dan aku tidak akan berhenti apalagi bernaung di senja ini. Dan aku sudah tak akan percaya lagi kalau matahari adalah penerang bagi kegelapan jiwa ini. Aku kecewa dan benar-benar tidak akan pernah mempercayainya lagi. Karena dia telah tega mengumpan ku untuk bemain dengan api dan panasnya hingga kemudian mencaci ku kala api itu tengah membakar segalaku. Ah, diumpan kemudian dicaci, benar-benar menyakitkan.

Langkahku terhenti di bibir malam. Aku getir, khawatir. Jubah hitamnya mengibas dan menari-nari di hadapanku. Aku gamang, aku takut. Aku berfikir sejenak mencoba berfilsafat; aduhai, bagaimanakah malam akan memperlakukan aku? Siang saja yang sarat akan harap dan kepercayaan telah melemparkan aku pada kubangan derita, apalagi dia, yang diselimuti gelap dan keegoisan? Aku terpaku kekal dengan berjuta kekhawatiran yang mengintimidasi perasaanku. Ku terdiam diamuk pilu, aku takut, benar-benar takut. Kenapa aku bisa terdampar di sini? Teringat semua bayang-bayang kelabu kala mentari menyinari ku dengan kemunafikannya, juga jejak-jejakku yang terseret saat senja tak mempedulikan aku, membuat perasaan ini semakin diremas-remas ketakutan. Ingin sekali ku terus berlari kencang menyusuri belantara malam, menembus lorong-lorong gelapnya, bersandar pada dindingnya, berpeluk dan bercumbu dengan dinginnya, hingga ku kan hilang, tak terlihat dan tak terbaca lagi. Tapi aku tak bisa, benar-benar tak bisa. Entahlah, tiba-tiba saja aku seperti didera perasaan takut. Takut akan cadas-cadas yang runcing, semak-semak berduri, beling-beling pecah, batu dan kerikil-kerikil di belantara gelap itu semakin membuat kakiku berdarah-darah. Ketakutan itu membuat sumsum kakiku serasa berserakan di tanah. Aku tak kuasa berdiri apalagi berlari.

Malam beranjak semakin gelap. Hati ini semakin getir, karena aku tak punya penerang sedikit pun. Tak ada peta tak ada kompas, aku seperti kehilangan arah dan temali, kehilangan semuanya. Mungkin malam mengerti, mungkin pula dapat membaca isyarat hati. Ia mendekati ku dan merangkul ku. Ia berbisik, “Kamu takut? Kenapa takut? Lelaki tak boleh takut. Kamu harus berani. Dan janganlah lari dari kenyataan.” Aduhai, ada apa dengan kata-kata itu? Bagaikan listrik, menyetrum denyut nadiku. Bagai tangan-tangan malaikat, mencubit ulu hatiku. Sumsum yang berserakan, sedikit demi sedikit merambat merapat dan mulai menyusut kembali dikarenakan kata-kata itu. Ajaib, benar-benar ajaib. Apakah aku tengah bermimpi? Ataukah itu sekedar fatamorgana? Entahlah, setahuku, fatamorgana tidak pernah menjelma di malam gelap. “Bangunlah. Aku ingin melihat senyummu. Bangkitlah, engkau terlalu agung untuk berlutut di situ. Bicaralah...!!” ucapnya lagi. Aku heran, benar-benar tak percaya. Inikah malam yang diselimuti gelap dan keegoisan itu? Ada apa dengannya? Aku yakin, dari intonasinya, ia pasti sedang tersenyum. Tapi senyumnya masih samar. Karena ia masih berselimut gelap. “Agung...??” aku gugup dan hanya sepatah kata ini yang bisa ku haturkan kepadanya. “Yach, agung. Engkau agung di hatiku. Engkau datang ibarat obor bagiku, ah, bukan. Masih kurang agung. Engkau bagai rembulan. Ah, bukan juga. Masih kurang agung. Engkau ibarat cahaya. Yach, cahaya. Cahaya di atas cahaya. Cahaya yang agung di hatiku. Bicarala...!!” katanya lagi. Sungguh benar-benar kata yang tak ku fahami. Tapi aku senang mendengarnya. Seagung itukah aku baginya? “Wahai malam, sedang bercandakah engkau dengan sabdamu yang indah itu?” hati ini menjerit dan masih tak percaya. “Cahaya? Cahaya apa???” tanyaku seakan tak mengerti. “Yach cahayaku. Aku gelap, aku dingin. Kaulah cahaya yang ku rindu untuk menerangi sudut gelap itu, tepis prahara sepi dalam jiwaku. Aku ingin menjadi malammu, malam yang selalu kau terangi dengan cahayamu,” ujarnya lagi. Aneh terasa menyelimut kata-kata itu. Tapi begitu jelas. Jelas, sejelas jelasnya. Ada harap, hiba sekaligus memaksa di situ. Aku bingung. Kegelisahan mulai merambat menelusupi relung jiwaku. Kenangan kelam di masa silam menorehkan berjuta ragu di kedalaman hatiku. Ragu pada malam juga ragu pada diriku sendiri. Secepat inikah? Apa yang dilihat malam dariku? Sekedar kasihan ataukah ingin mengumpan dan menambah pilu? Aku harus menyabdakan keraguan ini padanya, harus, “Tapi aku rapuh, masa laluku kelam, jejak langkah ini pun gersang. Aku takut kau akan kecewa dengan jiwa yang rapuh ini. Aku takut kau menyesal dan putus asa akan perasaamu sendiri. Aku takut cahayaku tak sebening yang kau mau. Ah, aku takut sekali,” ungkapku apa adanya. Semoga saja ia mengerti.

Malam beranjak semakin gelap. Hati ini pun mulai terjajah oleh kegetiran. Dari balik jubah kebesarannya malam berbisik, ”Jika kau rapuh idzinkan aku untuk menegarkanmu. Jangan takut. Lelaki tak boleh takut. Kamu harus berani, karena rasa di hati ini tulus pada mu.” Kata-kata itu sudah cukup meyakinkan sebenarnya. Tapi masih ada sisa-sisa keraguan di hati kecilku. “tapi aku gila!!!” ku ungkap saja keraguan itu padanya. “Jika kau gila, idzinkan aku menjadi seperti Layla yang rela gila bersama Qaisnya. Aku ingin gila karenamu.” Aduhai malam. Ada apa denganmu? Aku bukan Qais. Apa kau benar-benar ingin menjadi seperti Layla karena ku? Ah, tidak. Meski pun aku benar-benar Qais, aku tidak ingin mewariskan sedikit pun deritaku ini padamu. Ataukah kau memang benar-benar Layla? “Bukan, bukan itu yang ku maksud. Maksudku; apakah kau tidak malu merangkul orang gila seperti ku?” ku pertanyakan lagi keteguhannya. Bukan karena aku tak yakin akan perasaannya, tapi sekedar ingin meneguhkan perasaanku saja. “Cahayaku,” ucapnya khidmat “Aku mau mendampingi dirimu. Aku mau cintai kekuranganmu. Aku yang rela terluka untuk masa lalumu. Aku mau kamu. Hanya itu.” Aku terdiam. Diam sediam diamnya. Kata-kata itu bagai arus dahsyat yang menerjang dan menenggelamkan perasaanku. Ku coba sekali lagi menyelami samudera hati ini.¬ Biru, tenang, damai, tak ada gejolak atau pun debur-debur ombak. Hanya riak-riak kecil yang tampak menari-nari di sana. Malam, apakah engkau benar-benar ingin berlayar ditengah samudera itu?

Mungkin malam mengerti mungkin pula dapat membaca isyarat hati. Ia tersenyum disambut rindu. Senyumnya tak lagi samar. Gelap nan pekat juga awan-awan sesak terkibas jauh oleh aura senyumnya. Aku terpesona dan masih tanpa kata. Mungkinkah aku tersihir oleh senyuman itu? Kegelisahan, ketakutan, kekhawatiran serta keraguan tiba-tiba saja menjelma menjadi kerinduan. Ah, aku benar-benar diamuk rindu. Malam, kini ku rindu bait senyummu seperti gelap rindukan fajar pagi. Aduhai malam, apakah di sini, di balik tabirmu, aku akan bersembunyi? Aku ingin hilang, terlupa dan tak terlihat lagi. Dan pada dinding-dindingmu idzinkan aku untuk bersandar. Aku rapuh, aku lelah terkapar. Lihatlah lambaianku. Dengarkanlah desahku. Wahai malam, ku titipkan hati ini pada mu. Bawalah ia pada singgahsanamu. Jangan pernah lelah mendekap lelahnya dan jangan pernah putus asa merangkul keputus asaannya. Hanya itu.