SABDA CINTAMU

Pada mula bait, sumsum ini lebur
Tangisan ini pun tanpa air mata.
Penyesalan-penyesalan terangkum bagai prosa hitam
Tampa titik koma
Surat-surat yang bersirat ku tatap lekat
Ah…… Aku bangsat, aku nekat.
Kaulah yang terbaik bagiku.
Aku tersesat dalam belantara cinta
Peta itu, kompas itu, semua milikmu.
Ku terperanjat sadar tampa kata
Kaulah yang terbaik bagiku.

Cukuplah sempurna sabda engkau beri
Laksana paradigma penyejuk hati.
Kini, ku sadari wahai peri….
Permintaanmu ku garis bawahi
Kini, ku mengerti wahai bidadari……
‘’Kepercaya’an hanya satu kali.’’
Tapi……
Yang tak pernah ku sadari
Sejauh mana aku berlari.
Dan yang tak pernah ku mengerti
Setinggi mana aku bermimpi.
Terima kasih wahai pelita hati…
Biarlah langkah ini kan ku ratapi.

BIARKAN AKU MENANGIS

Kala malam berselimut gelap nan kelam
Biarkan aku menangis dalam satu isakan yang dalam
Karena aku ingin menyatu dengan tangismu
Dan larut bersama air matamu
Hingga aku kan sirna seiring waktu
Tak membekas dalam fikiranmu
Hilang dan terlupa dari ingatanmu
Kala mantra-mantra cinta
Sudah mampu menutupi lubang dalam hatimu.

Biarkan tangisku
Berbaur bersama nyanyian alam
Hanya terisak dan tersedu kemudian membisu
Meski tersayat seiring asa yang terlelap.

Biarkan aku menangis
Dalam kepekatan malam yang bisu.
Dan sekarang, biarkan aku berkata;
“Selamat tinggal”
Karena ku sudah tak bisa menangis.

KALAM TERDAHSYAT

Sungguh tak terbayangkan deti-detik melepas kepergiannya, meski tak akan selamanya, tapi waktu akan cukup ampuh untuk merampas segalanya; merampas jiwaku, jiwa yang terus berlari mengejarnya. Merampas mimpiku, mimpi yang berada di bawah kakinya dan juga merampas semangatku, semangat yang layu bahkan mati tanpa dirinya. Perpisahan, memuakkan sekali kata-kata itu membuatku ingin muntah, muntah darah. Memang tiada yang pandai untuk meramal hari esok, tapi andai saja sua setelah perpisahan adalah suatu kepastian, bukan keajaiban, hati yang rapuh ini tak kan terjamah oleh permainan badai-badai keraguan. Ragu akan kehadirannya kembali dan ragu intonasinya akan terevolusi oleh ganasnya waktu, karena terlalu aneh bagiku untuk selalu meyakinkannya agar aku tatap bertahta dalam singgahsana hatinya, aku ini siapa dibanding dia? Aku ini hanyalah seorang sudra yang ingin belajar dewasa dengan cinta. Aku pun tak tau; sekedar kasihan ataukah memang ada cinta di kedalaman hatinya? Tapi aku tak peduli karena aku sudah terlanjur cinta kepadanya.
“Ar…….. aku ini tidak pandai ber-acting dan aku juga tidak pandai membuat skenario, jadi janganlah kau anggap ini sebuah derama!! Karena aku tidak akan pernah mempermainkan kamu dan aku benar-benar mencintai mu. Percayalah!!” keluhnya waktu itu, saat aku berlagak seperti anak kecil dan meragukan ketulusannya. Dia terlihat sedikit kecewa karena mungkin sudah beribu duri tajam ku tancapkan di hatinnya –maafkanlah aku sayang.
Karenanya ku pupuk berjuta asa dimasa depan, ingin membangun gubuk kecil untuk kita berdua di kejauhan angan, walau disetiap ujungnya kan terselip dengan menyebut takdir Tuhan. Dialah yang terbaik bagiku dan senyumannyalah yang membuat darahku berdesir-desir syahdu. –Kawan, Aku tidak bisa mati tampa dirinya.
Menjelang hari pengumuman kelulusan dia datang menghampir ku. Dia datang dengan seribu teka-teki yang harus ku jawab tampa soal-soal. Aku tak bisa, aku awam. Terlihat awan-awan kelabu, lelap bersarang di wajah melancolisnya. Dia menatap ku dengan tatapan yang berbeda, tatapan yang tak pernah ku kenal sebelumnya “Sungguh, jangan tatap aku seperti itu. Jika tidak, aku akan menjadi debu di sini,” jerit hatiku menahan tiap burusan-burusan tatapannya. Wajahnya yang teduh, seteduh langit biru –bukan, bahkan lebih dari itu– terlihat berbeda kala itu, seakan ada berjuta ton pemberat di mata indahnnya itu. Semuanya memang terasa serba berbeda, langit pun terlihat berbeda dengan mendung-mendung pekatnya. Aku masih tak mengerti, ada apa dengan semua ini? Kala pertanyaan-pertanyaan bergelut mengecutkan senyum manisku –dialah yang bilang kalau senyumku manis– dia berkata serak dan sedikat tertahan dengan nada yang terdenngar serius, “Ar… kamu tau ga’? mungkin dalam waktu dekat ini aku harus pergi, pergi jauh mengejar mimpi.” DHEZZZZZZZZ………… beton-beton itu ia lontarkan menghujami diriku yang masih berdiri dengan tatapan kosong menganga. Aku pongah dengan kepala mendongah, mendung-mendung pekat menertawakan ku. Bumi seakan retak menelan dan mengubur ku serta mimpi-mimpiku di bawah kakinya. Inilah gempa terdahsyat yang pernah aku rasakan. Memang, bukan hanya satu-dua kali dia memadamkan lampu kesadaranku, tapi inilah yang terdahsyat. “Pergi jauh mengejar mimipi” inilah yang terdahsyat, mimpi itu sepertinya hanyalah mimpi buruk, mimpi yang membius mimpi-mimpi indahku menjadi tak berdaya, menjadi luruh dan memelas kepadanya, “Jangan tinggalkan aku, rangkullah aku, aku lemah tanpa mu, bawalah aku atau hancurkan aku jika kau memang tak peduli pada ku, selebur debu yang ada di bawah kakimu, dari pada sang waktu yang akan mencengkeram dan melumat-lumat perasaanku.”
Hatiku semakin sempit untuk berkilah, beku. Dadaku telah kehabisan argument untuk melawan kenyataan, yach kenyataan manis semanis empedu, kenyataan yang membuat ku tidak bisa membedakan antara pahit dan manis. Keraguan dan kecemasan teraduk-aduk di bawah sadarku yang semu. Aku lelah, sungguh inilah yang terdahsyat. “Kapas tertiup angin” itu ungkapan yang sepertinya sangat pantas untuk mengejek keadaanku waktu itu, kala kalam terdahsyat menghantam ulu hatiku.

Rohman eL zarazy
Lerpace, 22 desember ‘09

EPILOG SEBUAH ASA

Suasan di sore itu nampak begitu cerah dan indah. Langit cemerlang tampa mendung-mendung yang menggunung, hanya ada secercah-secercah mega berwarna jingga menyala menambah keindahan langit yang seakan tersenyum menatap dunia. Tapi keindahan yang sempurna itu tak dapat meredam kegelisahan di hati Rofi. Entahlah, sejak pulang sekolah tadi, hatinya seperti diselimuti kejanggalan dan kegelisahan, seakan ada sesuatu yang akan terjadi dalam lembar warna-warni hidupnya. Dalam keraguan ia bertanya-tanya pada hati kecilnya, “Kanapa ya perasaanku kok ga’ enak begini?” desahnya seraya menatap langit-langit kamarnya. Saat ia tengah bergelut dengan beribu pertanyaan-pertanyaan yang kian mengganjal di hatinya, tiba-tiba ponselnya berdering. Setelah ia melihat nama pemanggil yang tertera di layar ponselnya, ia bertambah bingung, karena yang menelponnya adalah Daila, orang yang selama ini menjadi penghias mimpi-mimpinya. “Daila……?! Ada apa ya kok tumben menelpon ku jam-jam begini? Padahal tadi kan udah ketemu di sekolah?” Rofi membatin. Cepat-cepat ia menjawab panggilan itu, “Hallo il… tumben, ada apa?” sapanya. Suara yang di seberang sana nampak menyahut agak serak dan tertahan, “Rof, kita harus ketemu sekarang, aku ada perlu sama kamu, penting!! Bisa kan?” “sekarang?! ada apa sich? Penting banget ya? Kenapa ga’ dibicarain tadi aja di sekolah?” jawab Rofi seakan tak mengerti. Bingung, heran, dan ragu semua bergelut di kedalaman hatinya. Daila membisu, Rofi semakin bingung dan heran. “Baikilah kita ketemuan sekarang, tapi dimana?” kata Rofi memecah kebisuan. “Kamu datang aja ke sini di samping sekolah. cepat ya, aku tunggu…!!”
Dengan hati berdebar, Rofi langsung mengambil sepeda motornya dan cepat-cepat pergi menuju tempat yang telah dijanjikan oleh kekasih hatinya itu. Setelah dia tiba di tempat itu dan melihat Daila tengah menatap kedatangannya dengan sangat lekat, hatinya semakin berdebar. “Ada apa sich kok kamu ngajakin ketemuan di sini?” Rofi mulai bertanya. “Sebenarnya ga’ ada apa-apa, aku hanya ingin…… aaa… ingin mengatakan sesuatu sama kamu, tapi kamu janji ya kamu ga’ akan marah?!” kata Daila. Rofi semakin bingung dibuatnya. Tapi setelah ia melihat ada secercah keseriusan di wajah Daila, wajah yang telah membuatnya melewati malam-malamnya tanpa terlelap dengan tenang itu, dia mencoba untuk mengabulkan permintaan kekasih pujaan hatinya itu. “Ada apa sich? Bikin aku khawatir aja?! Baiklah, aku ga’ akan marah?!” “Rof maafkan aku karena selama ini aku selalu membuat kamu khawatir, gelisah, dan mengganggu ketenangan hatimu. Rof, terus terang aku tidak ingin larut dan melangkah lebih jauh lagi dalam menyiksa batinmu” ucap Daila, wajahnya pias. “Daila… apa sich maksudmu? kamu jangan bicara begitu, aku sayang kamu,” “Rof aku mengerti perasaanmu, aku tau akan ketulusan cintamu. Dan sekarang, aku benar-benar merasa tidak pantas dengan semua itu” Daila menangis, “Rof, mungkin selama ini aku telah berbohong padamu juga pada perasaanku sendiri. Satu hal yang harus kamu ketahui, Rof terus terang aku senang banget saat kau ungkapkan perasaanmu dulu padaku karena masih ada orang memperhatikan dan peduli kepadaku. Tapi bagaimana pun aku harus jujur pada perasaanku sendiri meski ternyata sekarang aku sudah terlanjur berbaur dengan dunia yang asing yang tak pernah ku harapkan sebenarnya, yaitu duniamu. Rof, bukannya aku ingin mempermainkan perasaanmu, tapi waktu itu aku benar-benar bingung, disatu sisi-sisi aku ingin jujur kepadamu kalau aku tidak mencintai mu tapi disisi lain aku takut mengecewakan mu. Rof, maafkan aku ya…” Daila melanjutkan kalimatnya dengan disertai airmata penyesalannya. Rofi tak kuasa lagi menahan gejolak hatinya, dadanya terasa sesak. Kalimat-kalimat Daila itu begitu ganas menghujam jiwanya bak kerikil panas burung-burung ababil menghujani perasaannya, lututnya pun tak kuasa lagi berdiri, dia meringkuk luruh tertunduk seraya bergumam, “Benarkah yang kau katakan itu? Sungguh tak pernah ku bayangkan, apakah itu memang tabiat kaum hawa? Sekarang benarlah apa yang dikatakan teman-temanku; bahwa di hatimu memang tidak pernah ada cinta untuk ku, tapi mengapa engkau tak pernah berterus terang akan hal itu? Mengapa?? Ah… sungguh sekarang aku benar-benar sadar kalau semua itu hanyalah keegoisan dan kemunafikanmu belaka. Sekarang pergilah, tinggalkan aku sendiri…!!” mulutnya gemetar seluruh tubuhnya pun bergetar seakan tertimpa gempa-gempa kecil dari kedalaman hatinya. Melihat semua itu, sekali lagi Daila berkata memohon permaafan darinya, “Rof maafkan aku. Sebenarnya aku…” “Pergilah…..!!!” Rofi semakin tertunduk.
Perlahan sang raja siang mulai rebah ke dalam peraduannya menyulap aura senja menjadi bayang-bayang malam kelam, sekelam perasaan Rofi yang tertindas keegoisan cinta. Betapa kekelaman telah bertahta dan menguasai hatinya, hingga senja yang begitu indah terlewati begitu saja dengan penuh air mata. Senja yang indah pun sudah menjelma malam yang pekat, Rofi semakin terpuruk dalam derita hatinya yang dalam, karena sudah tiada lagi senjata yang akan bisa ia andalkan untuk melawan kepekatan malam kecuali dengan linangan airmatanya, walau pada hakekatnya air matanya sudah tak mengalir, tertambat dan terus terbendung hingga akhirnya berubah menjadi kolam-kolam racun di kedalaman hatinya. Racun itulah yang akan terus dan terus membumbui jiwa dan fikirannya. Malam pun semakin larut dengan keheningannya, dia masih mematung terjaga, ia merasa sepi, terkucil, dan terasing. Tatapannya menerawang jauh menembus sudut-sudut langit yang gelap tanpa bintang, segelap hatinya yang telah dirongrong oleh keegoisan cinta. Sesekali ia menundukkan tatapan kosongnya ke dadanya, seakan-akan khawatir hatinya akan keluar dari dada itu karena terus tertekan dan tertekan oleh nestapa. Sementar di kejauhan malam, terdengar jangkrik-jangkrik dan burung malam terus tertawa mengejek dari balik kegelapan. Akhirnya, dia pun terlelap tanpa sadar ditelan malam yang telah menjajah perasaannya.
Walau keadaannya tidak begitu stabil karena terus dirongrong oleh kesedihan dan penderitaan, Rofi tetap menghatur langkahnya untuk pergi ke sekolah. Setelah ia tiba di sekolah dan memarkir sepeda motornya, tiba-tiba saja ada seseorang yang memanggilnya dari belakang, suara itu terdengar sedikit tertahan, ada getar keraguan dari intonasinya. Dia hafal betul dengan suara itu, mungkin itulah sebabnya dia tidak menoleh. “Rofi tunggu……!!” Daila memanggilnya, tapi dia masih memalingkan wajahnya. “Rof, maafkan aku ya… sebenarnya tak ada niat bagiku untuk mengecewakan kamu dan menyakiti hatimu,” katanya lagi. Dengan sisa-sisa ketenangannya Rofi mejawab, “Sudahlah, sudah lama aku lupa dengan yang namanya sakit hati, sudah terlalu kenyang dengan kata-kata itu hingga aku tak bisa merasakannya lagi, kejadian pahit-manis yang ku lalui hanyalah ku anggap sebagai lelucon yang lewat begitu saja bagiku,” ungkapnya. Padahal pada kenyataannya hatinya sangat terluka. kemudian dia berkata dengan sisa-sisa ketegarannya, “Sudahlah, jalani saja apa yang telah menjadi prinsip hidupmu janganlah kau fikirkan aku, aku ga’ apa-apa, sudah biasa.” Kemudian dengan langkah gontai dia beranjak dari tempat itu membawa kepingan hati yang kian menyesakkan dadanya, sementara Daila masih terpaku kekal menatap kepergiannya dengan menghayati kata-katanya yang berlambangkan kepedihan itu. Daila bergumam, “Aku bangsat, aku berdosa, aku telah mengecewakan dan menyakiti hatinya. Rofi maafakan aku… maafkan aku…” langkah Rofi semakin gontai dan berat, tiba-tiba saja langkahnya terhenti, spontan saja dia menoleh kemudian berteriak lantang dengan tangan terlentang menghadap Daila yang masih membeku di tempatnya, “Daila……!! Kamu ga’ bersalah, hanya aku yang bodoh, aku lugu dan ga’ akan pernah ada yang bisa mengerti diriku. Ini salahku karena aku ga’ pernah berani mastiin siapa sebenarnya diriku? Aku tak berani mengungkapkan kalau cinta adalah keegoisan, kemunafikan dan kesengsaraan. Aku hanya berani memaksakan cinta yang pada hakikatnya hanyalah airmata.” Itulah kerikil-kerikil cinta yang selama ini tertambat dalam lubuk hatinya, semuanya telah ia hempaskan layaknya seorang ksatria, dan sekarang ia merasa jantungnya sudah tak berdebar lagi, mungkin juga sudah tak bedetak.