Aku dan Malam

Kala ku mulai gelisah menapaki lika-liku kehidupan, pedih-perih rasa hati ini menginjak bara-bara kegetiran. Ku berlari dan terus berlari mengacuhkan lelah. Kan ku kibas peluh-peluh luka yang masih tersisa. Aku ingin menertawakan kepedihan, mencaci setiap keluhan, mengejek keputus asaan dan akan terus berlari menyusuri labirin penderitaan. Karena aku adalah derita dan derita adalah aku. Biarlah kerikil bercadas meyapa kakiku, tak peduli panas menyengat kepalaku, biar saja hujan memeluk tubuhku dan badai membelai mesra ragaku. Biarlah, biar saja, ku tak akan peduli. Meski tanpa arah dan tujuan aku akan terus berlari membawa kegelisahan ini. karena aku sangat benci pada mentari, aku kecewa pada siang dan aku tidak akan berhenti apalagi bernaung di senja ini. Dan aku sudah tak akan percaya lagi kalau matahari adalah penerang bagi kegelapan jiwa ini. Aku kecewa dan benar-benar tidak akan pernah mempercayainya lagi. Karena dia telah tega mengumpan ku untuk bemain dengan api dan panasnya hingga kemudian mencaci ku kala api itu tengah membakar segalaku. Ah, diumpan kemudian dicaci, benar-benar menyakitkan.

Langkahku terhenti di bibir malam. Aku getir, khawatir. Jubah hitamnya mengibas dan menari-nari di hadapanku. Aku gamang, aku takut. Aku berfikir sejenak mencoba berfilsafat; aduhai, bagaimanakah malam akan memperlakukan aku? Siang saja yang sarat akan harap dan kepercayaan telah melemparkan aku pada kubangan derita, apalagi dia, yang diselimuti gelap dan keegoisan? Aku terpaku kekal dengan berjuta kekhawatiran yang mengintimidasi perasaanku. Ku terdiam diamuk pilu, aku takut, benar-benar takut. Kenapa aku bisa terdampar di sini? Teringat semua bayang-bayang kelabu kala mentari menyinari ku dengan kemunafikannya, juga jejak-jejakku yang terseret saat senja tak mempedulikan aku, membuat perasaan ini semakin diremas-remas ketakutan. Ingin sekali ku terus berlari kencang menyusuri belantara malam, menembus lorong-lorong gelapnya, bersandar pada dindingnya, berpeluk dan bercumbu dengan dinginnya, hingga ku kan hilang, tak terlihat dan tak terbaca lagi. Tapi aku tak bisa, benar-benar tak bisa. Entahlah, tiba-tiba saja aku seperti didera perasaan takut. Takut akan cadas-cadas yang runcing, semak-semak berduri, beling-beling pecah, batu dan kerikil-kerikil di belantara gelap itu semakin membuat kakiku berdarah-darah. Ketakutan itu membuat sumsum kakiku serasa berserakan di tanah. Aku tak kuasa berdiri apalagi berlari.

Malam beranjak semakin gelap. Hati ini semakin getir, karena aku tak punya penerang sedikit pun. Tak ada peta tak ada kompas, aku seperti kehilangan arah dan temali, kehilangan semuanya. Mungkin malam mengerti, mungkin pula dapat membaca isyarat hati. Ia mendekati ku dan merangkul ku. Ia berbisik, “Kamu takut? Kenapa takut? Lelaki tak boleh takut. Kamu harus berani. Dan janganlah lari dari kenyataan.” Aduhai, ada apa dengan kata-kata itu? Bagaikan listrik, menyetrum denyut nadiku. Bagai tangan-tangan malaikat, mencubit ulu hatiku. Sumsum yang berserakan, sedikit demi sedikit merambat merapat dan mulai menyusut kembali dikarenakan kata-kata itu. Ajaib, benar-benar ajaib. Apakah aku tengah bermimpi? Ataukah itu sekedar fatamorgana? Entahlah, setahuku, fatamorgana tidak pernah menjelma di malam gelap. “Bangunlah. Aku ingin melihat senyummu. Bangkitlah, engkau terlalu agung untuk berlutut di situ. Bicaralah...!!” ucapnya lagi. Aku heran, benar-benar tak percaya. Inikah malam yang diselimuti gelap dan keegoisan itu? Ada apa dengannya? Aku yakin, dari intonasinya, ia pasti sedang tersenyum. Tapi senyumnya masih samar. Karena ia masih berselimut gelap. “Agung...??” aku gugup dan hanya sepatah kata ini yang bisa ku haturkan kepadanya. “Yach, agung. Engkau agung di hatiku. Engkau datang ibarat obor bagiku, ah, bukan. Masih kurang agung. Engkau bagai rembulan. Ah, bukan juga. Masih kurang agung. Engkau ibarat cahaya. Yach, cahaya. Cahaya di atas cahaya. Cahaya yang agung di hatiku. Bicarala...!!” katanya lagi. Sungguh benar-benar kata yang tak ku fahami. Tapi aku senang mendengarnya. Seagung itukah aku baginya? “Wahai malam, sedang bercandakah engkau dengan sabdamu yang indah itu?” hati ini menjerit dan masih tak percaya. “Cahaya? Cahaya apa???” tanyaku seakan tak mengerti. “Yach cahayaku. Aku gelap, aku dingin. Kaulah cahaya yang ku rindu untuk menerangi sudut gelap itu, tepis prahara sepi dalam jiwaku. Aku ingin menjadi malammu, malam yang selalu kau terangi dengan cahayamu,” ujarnya lagi. Aneh terasa menyelimut kata-kata itu. Tapi begitu jelas. Jelas, sejelas jelasnya. Ada harap, hiba sekaligus memaksa di situ. Aku bingung. Kegelisahan mulai merambat menelusupi relung jiwaku. Kenangan kelam di masa silam menorehkan berjuta ragu di kedalaman hatiku. Ragu pada malam juga ragu pada diriku sendiri. Secepat inikah? Apa yang dilihat malam dariku? Sekedar kasihan ataukah ingin mengumpan dan menambah pilu? Aku harus menyabdakan keraguan ini padanya, harus, “Tapi aku rapuh, masa laluku kelam, jejak langkah ini pun gersang. Aku takut kau akan kecewa dengan jiwa yang rapuh ini. Aku takut kau menyesal dan putus asa akan perasaamu sendiri. Aku takut cahayaku tak sebening yang kau mau. Ah, aku takut sekali,” ungkapku apa adanya. Semoga saja ia mengerti.

Malam beranjak semakin gelap. Hati ini pun mulai terjajah oleh kegetiran. Dari balik jubah kebesarannya malam berbisik, ”Jika kau rapuh idzinkan aku untuk menegarkanmu. Jangan takut. Lelaki tak boleh takut. Kamu harus berani, karena rasa di hati ini tulus pada mu.” Kata-kata itu sudah cukup meyakinkan sebenarnya. Tapi masih ada sisa-sisa keraguan di hati kecilku. “tapi aku gila!!!” ku ungkap saja keraguan itu padanya. “Jika kau gila, idzinkan aku menjadi seperti Layla yang rela gila bersama Qaisnya. Aku ingin gila karenamu.” Aduhai malam. Ada apa denganmu? Aku bukan Qais. Apa kau benar-benar ingin menjadi seperti Layla karena ku? Ah, tidak. Meski pun aku benar-benar Qais, aku tidak ingin mewariskan sedikit pun deritaku ini padamu. Ataukah kau memang benar-benar Layla? “Bukan, bukan itu yang ku maksud. Maksudku; apakah kau tidak malu merangkul orang gila seperti ku?” ku pertanyakan lagi keteguhannya. Bukan karena aku tak yakin akan perasaannya, tapi sekedar ingin meneguhkan perasaanku saja. “Cahayaku,” ucapnya khidmat “Aku mau mendampingi dirimu. Aku mau cintai kekuranganmu. Aku yang rela terluka untuk masa lalumu. Aku mau kamu. Hanya itu.” Aku terdiam. Diam sediam diamnya. Kata-kata itu bagai arus dahsyat yang menerjang dan menenggelamkan perasaanku. Ku coba sekali lagi menyelami samudera hati ini.¬ Biru, tenang, damai, tak ada gejolak atau pun debur-debur ombak. Hanya riak-riak kecil yang tampak menari-nari di sana. Malam, apakah engkau benar-benar ingin berlayar ditengah samudera itu?

Mungkin malam mengerti mungkin pula dapat membaca isyarat hati. Ia tersenyum disambut rindu. Senyumnya tak lagi samar. Gelap nan pekat juga awan-awan sesak terkibas jauh oleh aura senyumnya. Aku terpesona dan masih tanpa kata. Mungkinkah aku tersihir oleh senyuman itu? Kegelisahan, ketakutan, kekhawatiran serta keraguan tiba-tiba saja menjelma menjadi kerinduan. Ah, aku benar-benar diamuk rindu. Malam, kini ku rindu bait senyummu seperti gelap rindukan fajar pagi. Aduhai malam, apakah di sini, di balik tabirmu, aku akan bersembunyi? Aku ingin hilang, terlupa dan tak terlihat lagi. Dan pada dinding-dindingmu idzinkan aku untuk bersandar. Aku rapuh, aku lelah terkapar. Lihatlah lambaianku. Dengarkanlah desahku. Wahai malam, ku titipkan hati ini pada mu. Bawalah ia pada singgahsanamu. Jangan pernah lelah mendekap lelahnya dan jangan pernah putus asa merangkul keputus asaannya. Hanya itu.

Tidak ada komentar: