DOOR DUISTERNIS TOT LICH



“Braaakkk…..” tabrakan itu terdengar histeris kala Rofi dan keluarganya berada di dalam Honda jazz itu. Jalur lalu lintas terhenti sejenak, mobil ambulanpun datang dengan suaranya yang khas dan orang-orangpun sama-sama panik dan sibuk di tempat kejadian untuk melarikan mereka ke rumah sakit. Dan akhirnya merekapun dibawa kerumah sakit. Setelah mendapat perawatan yang intensif, Rofi dapat diselamatkan. Namun ayah, ibu beserta adiknya telah pergi meninggalkannya untuk selamanya. Sehebat apapun manusia berusaha tapi Tuhanlah yang berkuasa atas segalanya. Hari itu adalah hari yang sangat menyakitkan bagi Rofi, bukan saja karena telah ditinggal oleh keluarganya tapi karena dirinya harus menerima kenyataan yang sangat pahit sekali bahwa dia harus memakai kursi roda. Kecelakaan itu memaksa dokter untuk mengamputasi kedua kaki Rofi, karena kedua kakinya retak dan tidak bisa untuk dioprasi, maka mau tidak mau kakinya harus diamputasi.

Sosok pendiam itu menatap jauh menerawang ke setiap sudut ruangan dalam rumahnya yang besar dan mewah itu. Lidahnya kelu tanpa sepatah katapun terucap seperti terkunci begitu saja. Dengan kursi roda yang selalu setia menemaninya dia pergi menuju ruang tengah. Disana terpampang wajah-wajah yang begitu disayanginya namun meraka telah pergi mendahuluinya meninggalkan beribu rasa yang tak mungkin bisa ia jelaskan. matanya yang tajam kini sembab sudah tergenang butiran airmata memandangi foto-foto itu. “Betapa begitu cepatnya waktu berlalu dan mengambil kalian semua dariku,” keluhnya sambil menitikkan airmata. Kehidupan yang dipenuhi dengan canda dan tawa, kini hampa tanpa suara-suara. Kasih sayang dan kebahagiaan yang selama ini telah memanjakannya kini raib sudah di atas tangan-tangan takdir. Namun Rofi adalah orang yang tabah dan bertakwa, seberat apapun cobaan yang ia hadapi, ia tetap berusaha untuk lapang dada dan ikhlas hati menerimanya. “Semua yang terjadi adalah atas idzinMu dan tiada satupun yang terlapas dariMu. Aku yakin ini adalah yang terbaik bagiku. Maka jadikanlah hamba termasuk orang-orang yang sabar,” Rofi mulai rebah dalam doa-doanya.

Ternyata, penderitaan belum sampai disitu. Pagi itu Rofi menerima telepon yang mengabarkan bahwa perusahaan ayahnya telah diambil alih oleh orang lain. Sungguh tak disangka, kini dirinya sudah tak punya apa-apa lagi.

“Duh Ya Robb……!!!” hati Rofi semakin rebah atas-Nya.

“Tok… tok… tok…” nada ringan ketukan pintu membuyarkan lamunannya. Perlahan dia menarik kursi rodanya menuju pintu didekat ruang tamu. Setelah pintu terbuka ia benar-benar terperanjat melihat dua orang laki-laki yang memakai baju hitam-hitam. Tak sepatah katapun mereka lontarkan, acuh tak acuh, beringas, seakan tak ada sambung rasa pada tatapan matanya, hanya secarik kertas yang mereka berikan secara spontan dan tanpa basa-basi. Rupanya mereka adalah petugas keuangan yang ingin menagih sisa pembayaran kreditan rumah yang selama ini masih belum terbayar. Pupus sudah harapannya selama ini untuk bisa meneruskan perjuangan keluarga besarnya. Sebab, dikarenakan kejadian itu, mau tidak mau dia harus pergi dari rumah itu dan hidup sebatangkara dalam asa yang terputus. Bersama kursi rodanya ia diantar oleh pembantunya yang dulu bekerja dirumahnya menuju sebuah asrama khusus anak-anak yatim piatu. Musibah yang menimpanya membuat dia harus menetap di tempat itu karena dia tak banyak tahu lagi tentang kerabatnya yang bisa dimintai pertolongan. Hari-harinya sangatlah sunyi dan sepi, tapi untunglah Ibu asrama disitu sangatlah baik dan ramah. Ia pun merasa senang karena dalam asrama itu diadakan berbagai macam pelatihan kesenian seperti; menyulam, menenun, dan berbagai keterampilan lainnya. Entah kenapa Rofi ingin sekali mengikuti kursus karang-mengarang dengan harapan agar dia bisa menjadi seorang pengarang yang hebat seperti yang telah dicita-citakannya. Fikirannya mengembara ke masa lalu dimana ia ingat pada sang ayah yang selalu memotivasinya agar menjadi seorang penulis yang hebat yang senantiasa berjuang lewat karangannya. Ia pun teringat pada ibu dan adik-adiknya, tanpa terasa airmatanya menitik lagi “Aku akan tetap berjuang untuk kalian, aku tidak boleh putus asa,” gumamnya. Kehidupan sudah berganti, semua hanyalah kenangan yang telah menjelma bayang yang akan selalu menghiasi setiap derap langkahnya.

Sebulan sudah ia mengikuti kursusan itu, ia begitu semangat dan rajin apalagi di asrama akan diadakan lomba mengarang dalam rangka merayakan ulang tahun asrama yang ke-9. Tak ada hari tanpa belajar bagi Rofi. Ia menulis dan terus menulis menuangkan ide-ide yang berserakan di kepalanya, karena baginya itu adalah kesempatan baik yang harus ia manfaatkan. Saat mengikuti lomba itu ia begitu konsen dan teliti dan ia berharap itu adalah karangan terbaiknya.

Kata demi kata telah dilontarkan oleh sang pembawa acara pada malam itu. Tibalah saatnya untuk mengumumkan pemenang untuk lomba mengarang. Saat itu hati Rofi mersa tidak karuan, fikirannya melayang-layang, matanya menatap penuh harap. Tapi ternyata keberuntungan tak berpihak kepadanya, ia tak mendapatkan apa-apa kecuali harapan-harapan hanpa. Parahnya lagi, teman-teman yang biasanya memberi semangat kepadanya merasa sangat kecewa dan mengucilkannya begitu saja. Terlintas lagi dalam benaknya saat ban mobil yang ditumpanginya tiba-tiba tergelincir dan membuat mobil itu terbalik dan merenggut semua keluarganya. “Andai saja ku dapat memutar waktu kembali, mungkin kehidupan ini akan lebih baik dari sekarang. Namun, semuanya sudah terjadi apalah guna untuk disesali,” Rofi mulai mendesah kembali.

Menjelang datangnya 17 agustus, seperti biasanya asrama mengadakan berbagai macam lomba agar lebih menyemarakkan suasana, tidak terkecuali lomba mengarang. Segala sesuatunya telah dipersiapkan. Semua pesertapun mulai berkumpul di aula utama yang kebetulan terletak di dekat bangunan asrama. Dalam kamar yang tak begitu luas Rofi terbaring tak berdaya, ia menatap nanar teman-temannya yang sedang ikut lomba dari balik jendela kamarnya itu. Kakinya bengkak karena terpeleset di kamar mandi, hingga ia tidak bisa pergi ke aula itu. Dengan bantuan sahabat karibnya, Fathur, akhirnya dia diperbolehkan mengikuti lomba dari dalam kamar. Dan tidak ada yang mengetahui hal itu kecuali panitia lomba dan sahabat karibnya itu. Rofi pun berusaha sebaik mungkin untuk membuat yang terbaik, karena baginya kesempatan tak mungkin terulang dua kali.

Detik-detik penobatan para sang juarawan terlantun penuh gema. Para penonton bersorak ria menyambut acara tersebut. Rasa tak percaya terbesit menari-nari, meloncat-loncat dalam benak para hadhirin terutama Ibu asrama. Sungguh tak percaya, Rofi menang dan dinobatkan sebagai pengarang terbaik pada kesemapatan itu. Kemenangan Rofi memang sungguh tak disangka oleh siapapun, bahkan Rofi sendiri hanya terpatung mendengarnya. Sebab yang mereka tahu, Rofi tidaklah ikut dalam lomba tersebut. Tepuk tangan nan riuh mengiringi kebahagiaan Rofi waktu itu. Deraian airmata mengalir di pipinya, mulutnya terkatup, hanya sebuah senyum tersungging disitu. Rofipun saling berpeluk haru dengan Fathur meluapkan kebahagiaannya. Fathur memang sahabat karibnya yang senantiasa mendampinginya kala sedih maupun senang sejak ia pertama masuk ke asrama itu. Keadaan fisiknya yang sempurna tidak membuatnya membeda-bedakan teman karena bagi Fathur semua orang itu sama melainkan amal perbuatannyalah yang membedakannya. “Ya Alloh, mungkin inilah hikmah dibalik semua cobaan-Mu,” ucap Rofi membatin. Meski dia telah kehilangan semua keluarganya tapi dia kini sudah memiliki keluarga yang baru yaitu; asrama dan juga pun Fathur yang telah menganggapnya sebagai seorang adik.

Tidak ada komentar: