SEDIH ITU PERLU

Menangislah jika harus menangis
Kerena kita manusia.
Manusia bisa terluka
Dan manusia pun bisa mengambil hikmah?”


Mungkin kita sudah sangat akrab dengan syair di atas. Karena selain kerap diputar di media-media elektronik seperti radio dan televisi, syair yang dilantunkan oleh group band ternama ~Dewa 19~ itu juga mengandung makna dan pesan yang sangat manusiawi, yaitu tentang kesedihan dan juga tentang bagaimana cara menyikapinya. Kesedihan merupakn suatu keniscayaan selama kita masih mengenal yang namanya kebahagiaan. Karena keduanya merupakan sunnatulloh yang tak dapat ditolak bagi kita selaku manusia biasa. Kecuali jika kita memang tidak diberi kesempatan untuk itu, alias crazy. Apakah sedih terus? Ataukah bahagia terus? Saya tidak bisa menganalisisnya.
“Sedih merupakan suatu kondisi yang wajar,” begitulah kata para Ahli psikologis (psikiater). Meski terkadang cara pandang kita berbeda dalam memaknai kesedihan, tapi yang pasti, sedih (bersedih) itu memiliki peran yang sangat positiv sekali terhadap fikiran dan hati seseorang. Entah itu kesedihan yang disebabkan oleh hal-hal yang bersifat ukhrowi ataupun duniawi, sama saja. Karena hati yang sedang dirundung kesedihan menandakan bahwa hati itu tidak mati. Ia hidup, sebab kesedihan tidak akan masuk ke dalam hati melainkan ketika ia dalam keadaan sadar. Dan kesadaran hati menunujukkan bahwa ia hidup. Sebaliknya, kesenangan duniawi akan datang kedalam hati ketika ia dalam keadaan lalai. Dan kelalaian itu menunujukkan bahwa ia telah mati. Maka kesedihanlah (kesadaran) yang akan membangkitkan hati itu sehingga ia menjadi hidup kembali. So, bersyukurlah kalau kita masih bisa bersedih.
Jika kita mengibaratkan hati adalah sebuah rumah, maka kesedihan adalah AC-nya. Dikala rumah (hati) telah gerah dengan udara (suasana) yang lembab (bahagia, muak, senang, dll) atau rumah itu sudah sesak dipenuhi oleh debu-debu (marah, emosi, kesal, sebal, dll) didalamnya, maka AC (sedih)-lah yang akan sangat berperan untuk menetralisir udara di rumah itu agar tidak terlau lembab sekaligus membersihkannya dari debu-debu sesak itu.
Sedih juga bisa membuat kita lebih bijak dalam memaknai kehidupan. Karena saat dalam kondisi bersedih kita seperti; berada dalam ruangan yang sangat sempit, sedangkan pandangan kita jauh menerawang ke ruang yang luas. Sebaliknya jika kita sedang dalam keadaan kelewat senang, kita seperti hidup menari-nari di ruang yang sangat luas dan lapang. Tapi hati dan fikiran serta pandangan kita terperangkap dan terpenjara dalam sebuah ruang yang sangat sempit, sebatas kebahagiaan itu sendiri dan ujung-ujungnya egois. Dan dengan kesedihan pula kita bisa menghargai kebahagiaan karena dengan adanya kesedihanlah kita bisa lebih yakin kalau kebahagiaan itu benar-benar tercipta.
Terlepas dari semua itu, bukan berarti kita harus selalu larut dalam ekstase kesedihan, Bersedu-sedan dan terus membiarkan kesedihan itu merongrong jiwa kita. Akrab dengan kesedihan sich tidak masalah, tapi kita harus sadar bahwa; kesedihan hanyalah refreshing hati, penjengahan, muhasabah dan proses persiapan diri untuk bersikap lebih dewasa dan positive. Jadi kalau kita sudah merasa siap, tinggalkanlah kesedihan itu dengan tanpa melupakannya, sebagai cerminan bahwa kita pernah bersedih dan bukan tidak mungkin esok kita akan bersedih lagi.

Imam Abu Sulaiman Abdurrahman bin ‘Athoillah Addarani berkata,
“Bukanlah kesedihan itu dengan menderaikan air mata.
Tapi meninggalkan apa yang kamu tangisi
Itulah tangisan yang sesungguhnya.”



*eL zarazy, The Lerpace Child

Tidak ada komentar: